TL-7

80 28 11
                                    

"Iya kenapa, ma?" ucap lemas Ara. Bahkan wajah Ara sudah pucat pasi, tapi Sasi hanya menatapnya datar.

"Saya mau makan, cepat buatkan!" Ara hanya mampu mengangguk padahal untuk berbicara pun sudah tak mampu.

Ara melangkah perlahan menuju dapur, sesekali berhenti menahan pening pada kepala. Sepertinya luka pada tangannya seperti menyambung ke kepala. Apalagi terakhir kali makan adalah saat di sekolah.

Saat memasak, bel rumah berbunyi. Ara mematikan kompor untuk membuka pintu depan. Mata itu membulat melihat siapa yang berada di depannya sekarang. "Kamu kenapa?"

"Aku nggak papa. Kenapa Ano ada di sini?"

"Aku khawatir, apalagi tadi aku melukaimu. Kenapa mukamu pucat sekali?" ucap khawatir Ano.

"Aku ... baik ...."

Tiba-tiba tubuh Ara limbung, Ano dengan sigap menangkap tubuh rapuh itu. Perlahan Ano mengaangkatnya, bukan ke dalam ia justru membawanya menuju mobil. "Pak, rumah sakit!" supir segera melajukan mobilnya secepat mungkin.

"Tolong pak!" Ano keluar dan memanggil suster. Ia mengikuti brankar itu dan menunggu di depan ruangan.

Selagi menunggu ia menelpon ayahnya. Ia mengatakan bahwa dirinya berada di rumah sakit. Edam sempat panik mendengar Ano berada di rumah sakit, setelah Ano menjelaskan Edam sedikit tenang walau masih khawatir.

"Gimana bisa ini terjadi?"

"Aku juga kurang tahu detailnya, tapi yang pasti saat aku ke sana keadaan Ara sudah begitu," jelas Ano menjelaskan kejadian yang ia ketahui.

"Pasti ada  penyebab kan? apa orang tuanya? jadi apa kamu akan membawa Ara ke rumah kita?"

"Memang tidak apa-apa?" ucap ragu Ano.

"Boleh saja. Daddy akan membuat jadwal makannya dan berbagai aktivitasnya akan Daddy pantau sepenuhnya," ucap tegas Edam membuat Ano ngeri.

"Kenapa?"

"Tidak apa-apa!" elak Ano.

Tak lama dokter keluar membuat Edam dan Ano berdiri. "Bagaimana dok keadaan putri saya?" Edam memang menutupi identitas Ara, tapi rasa sayangnya memang membuat Edam menganggap Ara adalah putrinya sendiri.

"Kondisi putri bapak bisa dibilang cukup serius. Putri bapak mengalami dehidrasi cukup parah, asam lambung naik, dan pembengkakan pada pergelangan tangan. Jika terus terjadi bisa saja hal yang lebih terjadi. Saran saya, jaga pola makannya, untuk sementara jangan biarkan beraktifitas berat seperti mengangangkat barang, dan istirahat yang cukup. Putri bapak dapat dijenguk ketika sudah dipindahkan ke ruang rawat, saya permisi!" setelah menjelaskan, dokter itu pamit menjalankan tugasnya kembali.

"Dok, tempatkan di ruang VVIP!" ucap Edam membuat dokter itu menoleh dan mengangngguk sebelum pergi.

"Jadi bagaimana, Vian?" ucapnya setelah menyerap perkataan dari dokter.

"Iya, aku akan membuat Ara tinggal bersama kita, Dad!" ucap tegas Ano.

"Baiklah, Daddy akan meminta bibik membersihkan kamar," ucap Edam yang disetujui oleh Ano.

Brankar Ara pun keluar keduanya mengikuti menuju ruang rawat. Setelah mengetahui Edam pamit untuk mengurus administrasi Ara. Ano pun memilih untuk diam di ruangan dan menatap Ara yang masih terlelap.

Aku harap ini kejadian terakhir, Ra, batin sedih Ano.

Jelas Ano tak ingin Ara-nya kenapa-kenapa. Apalagi Ara bagaikan napas bagi Ano, jika napas itu telah berhenti maka hidup Ano pun akan berhenti sampai di situ. Ano berharap Ara tak mengalami hal seperti ini lagi. Walau ia tak tahu kapan akan terjadi sebuah musibah, tapi Ano akan terus berusaha melindungi Ara.

"Kenapa lama sekali?" tanya Ano sedikit kesal pada Edam.

"Daddy belikan makanan untukmu dulu dan ke toilet sebentar," jawab Edam seraya berjalan menuju sofa yang berada di ruangan itu.

"Ada tugas?"

"Sudah selesai, sebelum ke rumah Ara aku kerjakan dulu," sahut Ano.

"Ya sudah, setelah ini pulang besok sekolah!" saat Ano akan membantah Edam kembali berkata membuat Ano tak berkutik.

"Tak ada bantahan atau tak boleh ke sini lagi?"

"Baiklah," gumam Ano lemah, tapi masih dapat di dengar oleh Edam.

Sementara itu Sasi sedang mengamuk karena Ara menghilang. Pekerjaan yang belum selesai membuat Sasi geram sendiri. Belum lagi tak ada yang menyiapkan untuk makan malam dan Sasi bersumpah akan menghukum Ara.

"KEMANA GADIS SIALAN ITU!!"

"Tau tuh, mana udah laper banget!" Zayyan Uri Edzard putra bungsu Sasi.

"Terakhir kali di mana dia?" Xander Uri Edzard putra sulung Sasi

"Di dapur kayanyan," jawab ragu Sasi. Ia lupa terakhir kali melihat Ara di mana.

"Iya, terakhir kali di dapur. Mama suruh dia buat makanan dan kalau nggak salah ada yang ketok pintu, nah setelah itu Ara nggak ada," ucap Sasi yakin.

"Bisa jadi dia kabur?" ucap Xander berasumsi.

"Awas aja kalo bener!" geram Sasi.

"Sekarang kita order aja," usul Zayyan.

Mereka pun memesan makanan yang mereka inginkan. Memesan makanan memang lebih banyak menghabiskan uang dari pada memasaknya sendiri. Tapi, Sasi tak bisa memasak dan selama Hansa masih hidup yang memasak adalah pembantu dan setelah tiada ia memecat semua pembantu dan memperkejakan Ara.

Andai Ara orang yang pembangkang mungkin akan menjadi beda cerita, sayangnya Ara adalah anak yang penurut apalagi kepada orang yang lebih tua darinya. Maka dari itu ia tak dapat membantah perkataan Sasi walau keadaannya tak memungkinkan.

Padahal Ara tahu bahwa ia itu sering anemia jika  telat makan dan meminum kapsul penambah darah. Sialnya, Ara sering melupakan hal itu. Ano yang memang sudah tahu berusaha menjaga pola makan Ara, tapi karena ia tak tinggal bersama membuatnya tak dapat mengontrol sepenuhnya.

"Hah, kenyang. Kalian bereskan ya, mama mau istirahat!" titah Sasi membuat Zayyan dan Xander melongo.

Apa-apaan itu bahkan mereka sama sekali tak pernah berberes bahkan memegang sapu saja tak pernah. Lalu, sekarang mereka diminta membersihkan bekas makan mereka dan itu sungguh berantakan.

"Sepertinya ini akan lama," ucap keluh Zayyan.

"Makanya sekali-kali bantuin bersih-bersih!" ucap ketus Xander sembari memungut kardus.

"Lah kaya lo gitu aja," ucap sindir Zayyan.

"Gini-gini gue bantuin dengan bersihin kamar gue sendiri," balas Xander tak mau kalah.

"Lah cuma kamar!"

"Emang lo beresin kamar lo?" tanya Xander membuat Zayyan terdiam, karena ia tidak melakukan hal itu. Jadi, ia tak dapat membalas perkataan Xander tadi, Zayyan hanya diam dan melanjutkan bebersihnya. Kali ini ia kalah telak dengan Xander, tapi lain kali ia tak akan kalah lagi.

Awas aja lo, ucap batin kesal Zayyan. Ia memandang Xander dengan tatapan tajam, tapi itu tak memperngaruhi Xander. Malah dibalas lagi oleh Xander yang membuat nyali Zayyan sedikit ciut, mau bagaimana pun Xander tetap anak paling tua.

"Akhirnya selesai juga," ucap Zayyan mengela napas lega. Dirinya mendudukkan diri sebelum bangkit mengambil air dan membawanya ke kamarnya sendiri meninggalkan Xander.

"Apa selama ini gue terlalu keras?" ucap Xander pada dirinya sendiri, sebelum pergi ke kamarnya sendiri.



























Jangan lupa Vote N Komen dan baca cerita Arissa yang lain.
Satu kata untuk part kali ini!
Kata yang menggambarkan saat kalian membaca part satu ini😘
👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇

Three Loves (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang