TL-33

80 20 2
                                    

Ano dan Ara sudah berada di kamar milik Ara. Sedari tadi Ara hanya diam dengan pandangan kosong. Namun, sejak meninggalkan taman air mata Ara tak mau berhenti mengalir.

Sungguh Ano tak tahan dengan kondisi seperti ini. Ano sakit melihat Ara yang hancur. Hati Ano teriris rasanya melihat kondisi Ara. Ano hanya ingin melihat senyum Ara bukan air mata.

Ano perlahan mendekat dan menggenggam tangan Ara, lalu sebelah tangannya menghapus jejak air mata Ara. Sedangkan sang empu masih belum menggubris apa yang Ano lakukan, sungguh ini membuat hati Ano sakit.

"Ra!" hanya ada tangisan yang menggema di ruangan ini. Jika ruangan tidak kedap suara mungkin orang rumah sudah panik.

Perlahan Ano semakin dekat hingga dia mendekap hangat tubuh mungil Ara. "Istighfar Ra, kamu jangan begini!"

Ano sudah mati-matian menahan air matanya yang akan keluar. "Hiks ... hiks ... hiks ...."

"Ra, denger-denger!" Ano melepas pelukannya dan menangkup wajah Ara.

"Kamu masih ada aku Ra, aku mohon jangan kaya gini."

Bukannya mereda tangis Ara justru mengeras, hal itu membuat  Ano sedikit lega. Karena dengan begitu tak ada lagi yang Ara tahan.

Lika yang merasa aneh dengan kamar Ara pun mencoba mengetuk pintu dari luar, tapi tidak ada jawaban. Hal itu sontak membuat Lika khawatir, dia pun mencoba masuk perlahan. Lika terkejut ketika melihat Ara yang menangis histeris dengan Ano yang mencoba menenangkannya.

"YA AMPUN ARA!" Lika segera memeluk Ara dengan erat yang dibalas oleh Ara.

"Ada ini, Vian?" ucap lirih Lika.

"Nanti aku ceritain," jawab Ano masih dengan air mata mengalir. Tangan Lika satunya ia gunakan untuk menghubungi Edam agar pulang ke rumah.

Dia ingin masalahnya cepat selesai dan tidak ada lagi air mata di rumah ini. Sungguh Lika tak kuat melihat air mata keluar dari putri satu-satunya.

"Ara sakit hiks ... hiks ... sakit, Ma. Hiks ... hiks ... sakit banget hiks ...." Rancau Ara tak karuan.

"Istighfar sayang, istghfar!"

"Hiks ... astaghfirullah hiks ... hiks ... sakit," rancau Ara.

10 menit berlalu suara tangisan Ara sudah mereda. Hanya sesekali masih sesenggukan saja. Lama-kelamaan hembusan napas terasa oleh Lika.

Perlahan Lika menidurkan Ara dan menyelimutinya. Ano masih diam dengan air mata yang sepertinya tak ingin berhenti begitu saja.

Lika mendekat ke arah Ano. "Ssts ... udah ya!" ucap Lika menenangkan seraya mengusap air mata Ano.

"Kita keluar yuk, setelah kamu tenang ceritakan semuanya ya!" Ano menurut ketika Lika menarik tangannya keluar menuju ruang TV.

Lika pun duduk, disusul Ano yang justru tidur dengan berbantalkan paha Lika dan Lika tak mempermasalahkannya sama sekali. Dia pun mengelus surai lembut milik Ano, membuat sang empu menjadi nyaman.

"Jadi apa yang terjadi, Ian?"

"Jadi, tadi aku sama Ara ke taman dan ternyata kak Raven nyusulin. Dia usaha buat minta maaf sama Ara, tapi ternyata Ara udah buat keputusan buat putusin Raven. Aku juga nggak bisa bilang apa-apa, karena di satu sisi aku senang mereka berpisah, Ma. Jadi aku juga nggak bisa mgomong sama Ara buat pertahanin hubungan mereka, sedangkan sebagian aku diriku bahagia mendengar berita ini. Aku harus apa, Ma?"

"Sttss ... ini bukan salah kamu kok. Tindakan kamu udah bener, hanya dengan diam. Lagi pula yang menjalani kan Ara, jadi kita nggak boleh memaksakkan. Bukannya ini sudah sesuai ya, mereka sudah pisah nggak ada lagi yang perlu dikhawatirkan sekarang."

"HEY!" teriakan itu membuat Ano dan Lika terlonjak kaget.

"Mas!"

"Apa-apaan ini, turun Vian. Ini istri Daddy, kalau mau cari sendiri," ketus Edam seraya memeluk pinggang Lika.

"Enak aja, Vian baru kelas satu SMA loh. Masa udah disuruh cari istri," ucap garang Lika dan mencubit pinggang suaminya.

"Aww! sakit, Honey!" Ano memandang wajah ayahnya ngeri.

"Sadar umur, tolong Dad!"

Edam pun berusaha mengontrol dirinya. "Okey, jadi apa ada sesuatu?" dia pun duduk dibarengi keduanya.

"Ya, seperti itulah."

"Berita baiknya Raven dan Ara sudah putus, sedangkan berita buruknya-"

"Ara kembali down," potong Ano.

"Sudah Daddy duga, tapi tak apa. Satu masalah kita sudah selesai. Jadi, kapan kita akan menjelaskan semuanya?"

"Aku punya usul, bagaimana kalau seminggu dari sekarang? mungkin suasaan hati mereka sudah jauh lebih baik, terus juga kalau mengambil terlalu lama juga tak baik kan?" Edam dan Lika pun mengangguk setuju.

Tanpa mereka ketahui Raven sebenarnya sudah berdiri di depan pintu kamar Ara. Ia ke sana tepat setelah Lika dan Ano pergi ke bawah.

"Ra!! Ra!!" Ara yang terganggu pun membuka matanya, dengan malas dia bangkit dan membuka pintu kamar.

"Mau apalagi?"

"Ra, tolong kasih aku kesempatan satu kali lagi," mohon Raven dengan muka memelas.

"Nggak akan, cepet pergi dari sini sebelum aku teriak!" Raven tetep kekeh membuat Ara reflek teriak.

"DADDY!!" ketiga orang yang sedang berbicara serius pun langsung berlari ke atas.

"Ada apa ini?" Ara yang mendengar suara Edam pun berlari dan memeluk tubuh Edam.

"Dia mau ngajak Ara balikkan, padahal Ara udah jawab nggak mau," adu Ara pada Edam.

"Raven tolong jangan buat keributan di sini."

"SEKARANG SEMUANYA BELA DIA, KENAPA NGGAK ADA YANG DIPIHAK AKU!"

"Nak, bukan git-"

"NGGAK, SEKARANG MAMA PUN BERUBAH!!" bentak Raven dan pergi menuju kamarnya sendiri.

Lika tersentak kaget, ini pertama kalinya Raven mengeluarkan nada seperti itu padanya. "Kamu tenang, Raven hanya sedang emosi," ucap Edam mencoba menenangkan istrinya.

****

Tak terasa seminggu sudah berlalu dan hari ini adalah hari di mana semuanya terungkap. Lika sangat menanti hari ini, karena setelah semuanya ia dapat berkumpul dengan anak-anaknya seperti dulu.

Mereka akan bertemu saat makan malam. Ini semua juga disebabkan kesibukan antara Edam dan Xander sendiri. Apalagi mereka berdua sedang melakukan kerja sama dan sedang dalam proyek.

Jadi, Lika sangat paham bahwa mereka sedang masa sibuk-sibuknya. Hari sidah menjelang sore, artinya semuanya akan segera berlalu.

Lika pun sedang membangunkan anak-anaknya agar bersiap-siap. Setelah memastikan semuanya sudah bangun dari tidurnya, Lika memilih ke kamarnya sendiri.

Sebelum mandi Lika memilih berberes kamarnya. "Selesai, waktunya mandi!"

Lika pun berjalan ke kamar mandi. Saat Lika masuk, Edam masuk ke kamar. Dia baru saja pulang setelah bekerja. Dia pun melepas dasinya sebelum mandi.

Badannya sudah lengket, seharian menggunakan jas dan kemeja. Ia juga menarik napas dulu, sebelum bersiap ke makan malam.

Lika sudah keluar kamar mandi dengan pakaian rapi. Dia juga sudah berwudhu, karena memang sudah memasuki waktu maghrib. "Kamu udah pulang, mas!"

"Maaf ya, mas. Aku sholat dulu ya!" Edam hanya mengangguk sebepum dirinya masuk ke dalam kamar mandi. Setelah selesai pun Edam menjalankan ibadan sholat sebelum keluar kamar.

Ternyata saat turun semua sudah menunggu dengan pakaian rapi. Walau sepertinya baik Raven dan Ara bingung dengan tujuan makan malam ini. Namun, Edam membiarkannya agar saat tiba nanti semuanya terjawab.




































Jangan lupa Vote N komen dan baca cerita Arissa yang lain.
Satu kata untuk part ini😘
👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇

Three Loves (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang