Part 1: He is Here

1.4K 121 26
                                    

Kicauan burung yang merdu membangunkan aku dari tidur nyenyak. Aku membuka mata perlahan, menghela napas panjang, berharap bisa kembali ke alam mimpi. Namun, kenyataan berkata lain. Mataku yang berwarna cokelat menyapu seluruh ruangan, dan seketika aku tersentak.

"Astaga!" teriakku, melompat dari selimut yang hangat. Jam di dinding menunjukkan pukul 08:13. Aku seharusnya sudah berada di jalan menuju kampus untuk kelas teater pagi ini. Bukan, aku bukan mahasiswa teater. Jurusan desain interior adalah pilihan hatiku, tapi teater adalah pelarian, dunianya yang lain.

Dengan tergesa-gesa, aku masuk ke kamar mandi, membasuh wajahku dengan air dingin dan menyikat gigi. Tak ada waktu untuk mandi atau ritual kecantikan lainnya. Aku segera berganti pakaian, meraih tas dan ponselku, lalu berlari menuruni tangga. Di dapur, ibuku sedang sibuk memasak.

"Kenapa terburu-buru, Sayang? Hari ini kan Sabtu," tanya ibuku, heran, sambil menyeka tangannya pada celemek.

"Kelas teaterku jam setengah sembilan, Bu. Kenapa Ibu tidak membangunkanku?" balasku tanpa menoleh, sibuk memakai sepatu.

"Mungkin Ibu lupa. Maafkan Ibu, ya."

"Aku akan pulang cepat, Bu. Dah!" Aku mengecup pipi ibuku sekilas, lalu melesat keluar rumah.

Aku berlari menuju halte bus terdekat. Untungnya, halte itu hanya berjarak tiga menit dari rumah. Sambil menunggu, aku berkhayal, membayangkan bisa terbang ke kampus. Aku melirik jam di ponselku.

08:21

"Ya ampun, tolong..." gumamku cemas. Tiba-tiba, sebuah bus muncul di kejauhan, melaju ke arahku.

Begitu bus berhenti, aku segera naik dan mencari tempat duduk. Bus tidak terlalu ramai karena hari Sabtu. Aku mengeluarkan tisu basah dari tasku dan membersihkan wajahku yang masih terasa lengket. Lalu, aku memoleskan sedikit liptint agar tidak terlihat pucat, tak peduli dengan tatapan sinis seorang wanita paruh baya di seberangku.

Akhirnya, bus berhenti di depan kampus. Aku turun dan berlari menuju gedung teater. Kampusku terlalu luas untuk dijelajahi dengan berjalan kaki, tapi aku tak punya pilihan lain. Aku melirik ponselku lagi, pukul 08:40. Panik mulai menyergap. Aku mempercepat langkah, menggenggam erat ranselku.

Pimm!

Suara klakson mobil mengagetkanku. Aku menoleh dan melihat sebuah mobil berhenti di sampingku.

"Syukurlah," desahku lega.

"Cepat masuk! Aku juga terlambat!" seru Anna, teman sekelas teaterku, dari dalam mobil.

Aku segera masuk. Tak ada waktu untuk berbasa-basi. Kami berdua terlambat dan cemas.

Sesampainya di gedung teater, kami langsung berlari menuju ruang kelas. Seperti yang sudah kuduga—

"Kau yang buka pintu," kata Anna.

"Kau saja," balasku.

"Aku sudah menyelamatkanmu beberapa menit tadi."

Aku menghela napas. "Baiklah..." Aku tahu perdebatan ini tak akan ada habisnya jika aku tak mengalah. Dengan ragu, aku membuka pintu teater.

Di dalam, teman-teman teaterku duduk membentuk lingkaran, dua orang berdiri di tengah mereka. Semua mata tertuju padaku dan Anna saat kami masuk. Mataku langsung terpaku pada salah satu sosok yang berdiri di tengah, bersama guru kami, Pak Edward. Sosok itu asing, namun terasa familiar.

Itu dia... Sebastian—

"Ayo," Anna menyenggolku dari belakang, membuyarkan lamunanku.

Kami bergabung dengan lingkaran teman-teman kami.

Knock Off (Sebastian Stan As Acting Coach X Reader)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang