A²💜4

793 32 0
                                    

Ada masanya kita melirik yang tersisihkan, karena tokoh sampingan pun ingin menjadi tokoh utama.

_Ametha prajnaparamitha.

**

Aneth berjalan gontai masuk dalam rumah mewah penuh kenangan ini, matanya melirik ke ruang keluarga yang dulu ramai karena tawanya, namun sekarang berbeda. Ruang itu memang ramai, tapi dirinya tergantikan oleh sosok baru, siapa lagi kalau bukan Laras dan Afinda. Bahkan foto mereka pun telah di turunkan dan terganti dengan foto baru. Seketika ingatan itu kembali, di mana Liana telah pergi selama lamanya. Memori itu terus membekas di hati Aneth, ia terpukul, sedih, terpuruk, hatinya rapuh, sosok yang selalu menemaninya kini telah berpulang ke sang pencipta. Cukup, air mata berharganya tak boleh menetes. Ia berjanji pada dirinya sendiri tak akan menangis, ia harus kuat. Laras menyadari adanya Aneth yang menatap ke arah ruangan yang ia tepati penuh sendu, ingin sekali ia memangilnya. Menyerunya untuk ikut bergabung bersama, namun seketika tatapan sendu itu berubah menjadi sorotan tajam, rasa benci itu kian menjadi. Ia hanya menatap Laras acuh lalu melenggang pergi menuju kamarnya.

Sore ini ia akan berkunjung ke peristirahatan Liana (ibunya). Ia rutin setiap dua bulan sekali berkunjung serta membawakan sebuket bunga segar untuk ia taruh di atas gundukan tanah coklat yang di tumbuhi rumput taman di atasnya. Biasanya ia akan ke sana bersama Leksmana (papanya), namun tiga tahun terakhir ini ia hanya sendirian setelah papanya terbukti memiliki istri baru. Pukul 15.00 ia sudah rapi dengan stelan serba hitam berpadu sneaker senada juga kaca mata hitam sebagai pelengkapnya.

"Bu Rina, bu!" panggilnya sedikit berteriak, lalu menyusuri dapur untuk mencari wanita berumur empat puluh lima tahun yang setia mengabdikan diri di kediamannya.

"Jangan teriak teriak nona." ucapnya, semetara Aneth hanya cengengesan.

"Kenapa nona memanggil saya?" tanya wanita itu dengan bahasa formalnya, Rina adalah kepala pelayanan dirumah ini, biasanya orang-orang memanggil wanita itu Butler (kepala pelayan) namun Aneth lebih suka memanggil wanita itu dengan sebutan Ibu, dengan alasan, Rina adalah orang yang merawatnya setelah Liana meninggal.

"Nggak kok, aku cuma mau pamit. Pengen ke makam mama." jawabnya singkat serta senyuman itu tak lekas pudar sama sekali, beda kalau ia sedang bicara dengan ayahnya, pasti hanya akan ada wajah datar dan kemuakan.

"Hati hati di jalan nona," gadis itu mengangguk patuh. "Jangan lupa, nona harus berpamitan dengan tuan Leksamana dan nyonya Laras." ingat Butler itu pada majikannya. Aneth menggeleng pelan.

"Ngapain pamit ke mereka, kan yang selalu nemenin aku ibu, bukan mereka." jawabnya, begitu halus nan lembut penuh kasih sayang, mungkin ia akan marah pada orang lain karena membahas orang tuanya, tapi ini lain, ini Rina. Orang yang ia anggap sebagai ibu keduanya. Rina lah orang yang selalu menemaninya setelah Liana tiada, berbeda dengan Leksmana  yang selalu pulang larut malam dan berangkat sangat pagi dengan alasan ingin sendiri karena kepergian istrinya. Pria itu lupa bahwa ia juga memiliki seorang putri yang nasibnya lebih buruk dari pada dia. Pantaskah orang seperti itu di panggil dengan sebutan ayah? 

"Tapi nona__" ucapan Rina terhenti karena Aneth memotong.

"Udah ya bu, jangan banyak nanya nanti Neth telat." Aneth mengeluh kesal dengan kelakuan kepala pelayan Rina yang suka sekali bertanya.

"Neth berangkat, Neth sayang ibu Rina." imbuhnya kembali berteriak dan berlari menuju garasi. Leksmana yang ingin mengambil minum pun sempat bersembunyi, banyak dari para maid yang bekerja dalam dapur ini ingin memberitahu Rina, namun sebelum itu terjadi, Leksmana menggelengkan kepalanya, isyarat dari kata jangan. Ia ingin melihat adegan antara maid dan anaknya yang seperti ibu dan anak. Ia sadar, memang ia telah mencukupi kebutuhan Aneth, tapi bicara soal kasih sayang, secuil pun tak ia luangkan kepada anak gadis semata wayangnya. Bahkan dulu saat Aneth sakit hingga di opname, bertanya kabarnya pun ia tak sempat, apa lagi menjenguknya. Alasanya di karenakan pekerjaannya yang semakin padat dan meeting yang tak bisa di tunda.

*

Ferrari spider itu sesekali berhenti karena padatnya kota Jakarta saat sore hari. Dua puluh lima menit berlalu, akhirnya Aneth sampai di San Diego Hills Memorial Park, tempat ibunya dimakamkan. Tak perlu ambil pusing. Ia langsung memarkirkan mobilnya pada parkiran umum dan bergegas pergi ke makam mamanya karena hari sudah semakin sore. Liana paramitha Wirashangga, inilah nisan yang Aneth cari cari, Aneth duduk sembari meletakan buket bunga mawar putih yang tadi ia beli di tengah perjalanan.

"Mama apa kabar, baik kan? Netha kangen banget loh sama mama, apa mama nggak kangen sama Netha?" katanya lirih yang sama sekali tak terjawab, ia hanya bermonolog pada dirinya sendiri, suatu hal yang sering ia lakukan saat berkunjung.

"Oh iya Netha bawain bunga kesukaan mama loh." tersenyum manis sembari meletakkan setangkai mawar putih yang tadi ia beli terpisah dan dari tadi terus ia genggam.

"Bicara soal papa, papa udah berubah ma, papa udah nggak kaya dulu lagi, papa udah punya kehidupan baru, papa lupa kalau dia masih punya kita." ungkapnya, kali ini terdengar sangat miris, kristal bening yang sedari tadi ia tahan tanpa persetujuannya pun luruh, perlahan ia mulai menangis, selama ini ia selalu menahan air matanya agar terlihat tegar di depan banyak orang, biarpun ia pendiam, selalu cuek terhadap semua hal, tapi Aneth tetaplah manusia yang bisa saja menangis bahkan tertawa. Aneth mengusap pipinya kasar yang basah karena air mata.

"Aku juga mau minta maaf, karena aku belum bisa tau siapa yang udah bunuh mama. Selama ini aku udah usaha ma, aku diam diam selalu cari informasi, tapi selalu gagal. Aku minta maaf. Papa pun udah ngga perduli, kenapa sih mah semua orang nganggep kalo mama meninggal karena penyakit. Mama meninggal karena racun kan?" pertanyaan tanpa jawaban selalu ia ucap.

"Aku ngga pernah ngomong ini sama papa, karena papa cuma tau kalau mama meninggal karena serangan jantung."

"Aku kangen sama mama, mama mampir dong ke mimpi Neth, peluk Neth ma. Mampir ya ma, Neth sayang mama."

'Nggak gua nggak boleh nangis, jangan sia siain air mata lo cuma gara gara hal kek gini'

"Ya udah mah, itu aja yang mau Neth omongin, udah sore juga, Neth janji deh bulan depan bakal ke sini lagi." gumamnya, lalu mengecup singkat nisan itu dan pergi menuju parkiran. Aneth tak menyadari kalau dari tadi Leksmana tengah mengawasinya dari balik pohon besar.

Flash back on

"Netha pergi ke mana?" tanya Leksmana yang melihat putrinya berpamitan dengan butler Rina. meskipun ia masih kesal dengan kelakuan putrinya tadi pagi, tapi gadis itu tetaplah anaknya.

"Nona pergi ke makam nyonya Liana." jawabnya penuh hormat. Leksmana berdecak, kenapa ia bisa lupa kalau bulan ini ia belum datang ke makam istrinya.

"Ya sudah saya mau susul Aneth." pamitnya yang di balas anggukan dari butler Rina.

Flash back off

Leksmana berjalan pelan dari balik pohon untuk menghampiri makam Liana, istri tercintanya. Meletakkan sebuket mawar putih mirip seperti yang Aneth bawa tadi adalah hal yang sekarang ia lakukan. Lalu memanjatkan doa untuk Liana adalah opsi selanjutnya.

"Liana, apa kabar sayang? 12 tahun kita telah terpisah, kamu pasti sangat bahagia di sana, aku harap begitu, di sini aku bingung, bingung tentang Neth yang semakin hari makin membenciku, semakin gencar melawan perkataan ku, semakin gencar semena mena dan tak bisa di atur lagi. Aku pikir, setelah aku menikah lagi dan memberinya seorang ibu akan memperbaiki situasi ini. Tapi apa? Ia malah menjadi semakin brutal, kasar dan keras kepala." ujar Leksmana sembari terus memandangi nisan yang bertuliskan nama istrinya.

"Aku sayang kamu Li. Aku juga sadar kalau aku kurang perhatian sama anak kita. Tapi mau gimanapun pekerjaan ku juga penting. Aku minta maaf sayang. Maafin aku." mengecup nisan singkat. Setelah beberapa lama akhirnya ia menyudahi hal tersebut dan bergegas beranjak untuk pergi karena matahari akan segera terbenam.

**

Vomet nya guyss.

Jan lupa follow ig aku
@ltfrhma_real.

Terus lanjut ya.....

THAKSA (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang