BESOKNYA aku izin nggak masuk kerja. Aku bilang ke Pak Trimo badanku demam, panas dan menggigil pada saat bersamaan, padahal aku nggak kenapa-kenapa. Badanku adem-adem aja. Cuma memang pikiranku lagi nggak sehat saat ini. Lagi kalut. Semalaman aku nggak bisa tidur karena kepikiran dengan apa yang telah Reza lakukan padaku.
Aku bertanya-tanya dalam hati apakah yang Reza lakukan itu—memaksaku ngewe di rumah kosong—termasuk ke dalam pelecehan seksual? Well, aku memang merasa agak dilecehkan karena dalam sudut pandangku Reza seolah-olah menganggap aku ini 'sebuah barang' yang bisa dia pakai sesuka hatinya tanpa peduli apakah aku menyukainya atau nggak. Caranya memohon supaya aku menurutinya, caranya mengucapkan janji bahwa itu yang terakhir kali dan setelahnya dia nggak akan mengajakku yang aneh-aneh lagi, membuatku kesal, sedih, marah pada saat bersamaan. Karena setiap kali dia ingin mendapatkan apa yang dia inginkan, kata-kata itu yang selalu diucapkannya. Aku ingat, ketika kami ngewe di halaman belakang rumahnya pun kata-kata yang dia ucapkan saat itu kurang lebih sama dengan yang dia ucapkan di rumah kosong itu: "Aku janji ini yang terakhir kali. Setelah ini kita ngewe di tempat yang aman." Hah! Bodoh juga aku nggak mengungkit ucapan itu kemarin.
Aku memukul bantalku keras-keras dan menjerit di baliknya.
Sampai pukul dua belas siang, nggak ada chat atau permintaan maaf apa pun dari Reza. Fix, kami putus. Aku nangis lagi. Aku nangis karena ternyata selama ini lelaki itu sekalipun nggak pernah mencintai aku. Jadi hubungan dua tahun ini apa artinya untuk dia? Aku nangis sampai lelah untuk meneteskan air mata, dan akhirnya jatuh tertidur.
Aku terbangun beberapa saat kemudian ketika iPhone-ku berdering keras.
Dengan kesal karena tidurku terganggu, kulihat layar dan membelalak kaget karena nama yang muncul di sana adalah Putra Gendut Gemesh Anak Baru Di Kantor. Aku langsung menjawabnya.
"Halo?"
"Hai. Gimana keadaan? Sehat?"
Suara Putra ditelepon kenapa empuk banget didengarnya?
"Demam. Tapi baik-baik aja. Kenapa?"
"Ya nggak apa-apa, mau tanya kabar aja. Nggak boleh? Gue matiin aja, ya."
Aku tertawa. "Baperan banget deh bocil. Lagi istirahat, ya?" tanyaku sambil melirik jam dinding. 13.30.
"Pak Rudi lagi keluar sama Pak Trimo, entah ke mana. Dan lagi nggak ada yang perlu gue kerjain juga, jadi nyantai deh."
Aku tersenyum. Dia lagi santai yang diteleponnya aku, bukan pacarnya. Berarti dia lebih suka aku yang menemani waktu santainya. Mendadak aku jadi kepedean sendiri.
"Gue mau meluruskan sesuatu," kataku.
"Apa itu?"
"Tiara bohong tentang gue yang punya epilepsi. Gue sehat, kok. Semalem gue nggak habis kejang-kejang. Semalem gue cuma kehujanan, dan susah dapat orderan Grab, makanya Tiara ngebohong tentang epilepsi supaya lu jemput gue karena sebenarnya Tiara males jemput gue ..."
"Oh, iya nggak apa-apa. Tadi pagi Mbak Tiara juga udah jujur. Semalem dia nggak mungkin jemput lu hujan-hujan kan, makanya dia minta tolong gue karena dia tahu gue punya mobil."
"Sorry, ya."
"Santai aja. Hitung-hitung balasan karena kemarin lo udah beliin gue makan siang."
Aduh, kenapa bahas makan siang itu, sih? Itu topik yang berusaha aku hindari. Jadi aku mengalihkan pembicaraan.
"Pak Trimo sama Pak Rudi pergi ke mana?"
"Nggak ada yang tahu, kata temen gue sih mungkin lagi karaokean." Putra tertawa, bersama temannya yang suara tawanya terdengar samar. "Lung, udah makan belum?"
![](https://img.wattpad.com/cover/245508883-288-k590883.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
F*ck Boy
General FictionAlung terjebak toxic relationship. Dia ingin bebas, tapi dia takut sendirian. Lalu ada Putra yang datang membebaskannya. Tapi, tetap saja dia merasa sendirian.