"Lung, kamu baik-baik aja?" Suara Reza tenang, dan untuk nyaris sekejap saja aku merindukannya.
Aku tahu ini salah, tapi aku nggak punya tempat lain untuk berkeluh kesah. Tiara dari tadi nggak bisa ditelepon, hari Minggu begini dia pasti lagi ciuman sama cowoknya.
"Kamu kenapa suaranya kayak lemes gitu?" tanya Reza lagi.
"Aku nggak apa-apa. Lagi capek aja sama kerjaan."
"Bukannya ini Minggu? Emang nggak libur?"
"Kamu kan tahu hari Minggu juga kadang aku masih ngurus kerjaan."
Reza diam, aku pun diam. Aku sekarang lagi ada di lobby hotel, duduk sendirian setelah meninggalkan Putra di depan hotel tadi. Sekarang cowok itu kayaknya ada di dalam kamar, karena tadi aku melihatnya naik ke lift. Aku nggak mau peduli sama dia walau sebenernya aku masih pingin banget sama dia. Putra bajingan yang katanya peduli sama aku tapi ternyata dia takut sama aku. Dia ternyata nggak lebih baik dari orang-orang lain di kantor yang baik cuma di depanku aja, tapi sebenarnya dalam hati dia takut sama aku. Bedanya orang-orang itu nggak ngomong langsung di depan mukaku, yang membuatku terlihat tampak menyedihkan dan memalukan.
"Kamu udah maafin aku, kan?" kata Reza.
"Aku nggak tahu, Za. Yang kamu lakukan itu beneran fatal ..."
"Aku tahu." Dia terdengar menyesal. Aku bisa membayangkan raut wajahnya yang gemas kayak anak kecil ketahuan nyolong permen. "Aku sadar, tapi aku juga nggak ngerti lagi dengan diriku sendiri, Lung. Aku sakit. Kamu benar. Mungkin udah seharusnya aku pergi ke psikolog."
Aku pernah menyarankan Reza pergi ke psikolog beberapa bulan setelah aku sendiri pergi konsultasi, karena aku merasa ada kecemasan berlebihan yang terasa salah dalam kepalaku dan menurutku Reza juga butuh ke psikolog, karena orang waras macam apa yang tega membiarkan pacarnya disetubuhi tiga pria asing di rumah kosong cuma demi memuaskan nafsu birahinya?
Sengatan rasa sakit karena teringat kejadian di rumah kosong itu mendadak membuatku terdiam lebih lama, dan aku seharusnya nggak bicara dengan Reza saat ini. Seharusnya aku nggak membiarkannya masuk ke kehidupanku lagi. Dia sudah menghancurkan harga diriku. Aku sudah hancur sampai harusnya nggak ada lagi yang tersisa dariku untuk Reza, tapi kesendirian karena penolakan Putra di kafe tadi sore benar-benar menyakitkan dan aku butuh teman, aku butuh seseorang untuk diajak bicara. Aku butuh seseorang untuk membuatku merasa bahwa aku diinginkan. Dan cuma Reza-lah yang saat ini bisa membuatku merasa diinginkan.
"Setelah pulang dari Jakarta, kamu mau temenin aku pergi ke psikolog?"
Kenapa suara Reza terdengar seperti anak kecil yang memohon untuk diberi permen?
"Za, aku takut semuanya udah terlambat—"
"Nggak ada yang terlambat, Lung. Kamu sendiri yang pernah bilang ke aku bahwa nggak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Aku bisa ngerti kalau kamu nggak mau balik lagi jadi pacarku, dan aku minta maaf karena apa yang udah aku lakukan ke kamu di rumah kosong itu, tapi please untuk sekali ini aja bantu aku? Aku nggak bisa kayak gini terus—"
Reza menangis.
Kubiarkan cowok itu menyelesaikan tangisnya. Aku nggak berniat untuk menenangkannya karena sejujurnya aku nggak tahu apa yang harus kulakukan untuk menenangkannya.
"Lung, aku nggak pernah menyesal sampai nangis-nangis kayak gini. Kamu tahu aku, kan? Aku paling gengsi nangis di depan kamu, tapi sekarang—"
Tangisnya pecah lagi.
"Za, aku masih nggak bisa lupa dengan kenangan buruk itu—"
Aku juga mau nangis karena ingatan rumah kosong itu lagi-lagi membuat dadaku terasa sakit. Kenapa sih aku begini? Di satu sisi aku membenci Reza dan nggak seharusnya aku bicara dengannya lagi, tapi di sisi lain aku butuh dia yang menginginkan aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
F*ck Boy
Aktuelle LiteraturAlung terjebak toxic relationship. Dia ingin bebas, tapi dia takut sendirian. Lalu ada Putra yang datang membebaskannya. Tapi, tetap saja dia merasa sendirian.