Bab Tujuh: Monster! Biadab!

307 31 7
                                    

Triggered warning, buat yang nggak nyaman atau punya trauma berat dengan kekerasan seksual bisa skip aja ya.


===

"OKE, aku kirim share loc."

Lalu panggilan terputus. Dengan berat hati aku buka WA Reza dan kukirim share loc rumah Putra padanya. Reza mau jemput aku karena kami ingin menyelesaikan semuanya sekarang. Setelah berhasil mengirim lokasi, aku balik badan dan dengan perasaan nggak enak masuk ke dalam kamar Putra.

Cowok itu lagi main game di komputernya. Telinganya ditutup dengan headphone warna biru tua. Ekspresinya bisa dibilang kesal, bibirnya merengut dan matanya nyaris terlihat seperti melotot. Aku berusaha positive thinking, mungkin dia kalah main game makanya ekspresinya seperti itu. Dia melihatku sekilas ketika aku masuk ke dalam, lalu perhatiannya terfokus ke layar komputernya lagi. Aku berdiri di sebelahnya. Dia nggak pernah menolehkan kepalanya lagi padaku.

"Gue harus pulang," kataku.

Putra nggak merespons. Mukanya berubah jadi tambah merengut, lalu dia berdecak kesal. Kulirik layar komputer, kayaknya dia beneran kalah main game karena di layar ada lampu peringatan warna merah gitu. Tapi kemudian dia melanjutkan permainan, dan aku nggak digubrisnya sama sekali.

Tanpa menunggu jawabannya, aku mengambil tas kerjaku dan sekali lagi kuucapkan padanya, "Gue harus pulang," tapi kali ini lebih keras dan aku yakin dia pasti mendengarku tapi dia masih tetap nggak menggubrisku. Oke, baiklah. Dengan kesal, aku bergegas ke pintu. Tapi sebelum aku sempat membuka pintu, Putra menyahut:

"Dijemput pacar lo?"

Aku balik badan. Dia masih nggak menoleh padaku.

"Ya," jawabku.

Ekspresinya mendadak berubah jadi lebih merengut, kelihatan jelas banget dia marah, bukannya kesal. Tapi dia nggak mengucapkan apa-apa.

"Put, gue pulang sekarang." Entah kenapa aku nggak rela banget buka pintu dan keluar dari kamar ini tanpa dia cegah sama sekali. Aku maunya Putra melepas headphone sialan itu dari kepalanya dan menahanku supaya nggak jadi pergi. Tapi bahkan ketika kuputar knop pintu pun dia masih nggak mengalihkan wajahnya padaku.

Aku kecewa, tapi Putra mungkin lebih kecewa lagi padaku karena dia sudah baik banget mau nolongin aku dan dia melarangku untuk kembali ke pelukan Reza, tapi aku malah mengabaikannya. Kami berdua sama-sama kecewa. Tapi untuk saat ini, meminta maaf akan terasa canggung dan nggak ada gunanya karena Reza sudah terlanjur akan menjemputku. Dengan mengembuskan napas pasrah, aku keluar dari kamar Putra.

Tapi baru juga aku sampai di tengah tangga, Putra muncul dari balik pintu kamarnya.

Aku menatapnya, dan dia menatapku. Sejenak kupikir Putra akan meraih tanganku dan memohon supaya aku nggak pergi ke pelukan Reza, tapi sialan ternyata dia cuma mau nganter baju kotorku yang ketinggalan di gantungan belakang pintu kamar mandinya.

"Baju gue dibalikinnya nanti aja, kalau udah lo cuci," katanya setelah menyerahkan baju kerjaku. Dia balik badan.

Refleks, entah kesurupan apa, aku meraih tangannya. Putra mematung selama beberapa detik, lalu dia menoleh padaku dan memandangi tangan kami yang berpegangan. Aku buru-buru melepas pegangan tangan kami dan Putra menatap mataku. Jantungku berdebar hebat ditatap matanya yang teduh dan menenangkan.

"Gue pulang, ya."

Putra mengangguk. Aku tahu dia pasti ingin mengatakan sesuatu, dan mulutnya yang nggak mengucapkan apa-apa hanya berarti satu hal: dia menyerah. Putra akhirnya menyerah untuk menyelamatkanku. Mungkin memang aku nggak layak untuk diselamatkan. Lagipula, memang aku kan yang memintanya untuk nggak usah mencampuri urusanku?

F*ck BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang