PUTRA khawatir aku yang bakal teler karena mabuk-mabukan malam ini, ternyata malah si Habib. Cowok Timur-Tengah itu nggak sadarkan diri di sofa. Kami sudah menepuk-nepuk pipinya, memaksanya bangun, tapi dia cuma membuka mata sedikit lalu mengigau nggak jelas sebelum akhirnya jatuh tertidur lagi. Beberapa orang yang melihat Habib teler ingin membantu, termasuk om-om gendut yang kayaknya punya niat mau ngebungkus cowok itu, tapi Putra segera menolak, "Maaf Om, dia sama kami." Om-om itu malah nawarin duit ke Putra supaya dia bisa bawa Habib, tapi Putra dengan tegas menolak dan om-om itu pun akhirnya menyerah. Lagian Habib juga norak banget, udah tahu ganteng dan jadi incaran semua orang, pakai acara teler pula.
Untungnya Habib kurus, jadi dengan mudah aku dan Putra membopongnya keluar dari klub dan membawanya masuk ke mobil Grab yang sudah dipesan Putra. Di dalam mobil aku duduk di kursi tengah, kepala Habib terbaring di pahaku, sementara Putra duduk di sebelah sopir.
"Untung dia nggak muntah," kata Putra saat mobil tancap gas.
Aku mengusap rambut Habib yang halus dan memandangi wajahnya sambil bermonolog sendiri dalam kepala. Enak ya jadi ganteng, bahkan dalam keadaan nggak sadarkan diri pun masih banyak orang yang menginginkan kita. Bahkan om-om tadi rela mau ngeluarin duit demi bisa membawa Habib pulang. Kalau aku dan Putra matre, harusnya kami biarkan saja Habib dibawa om-om itu, kan lumayan uangnya. Tapi walaupun baru kali ini pergi ke klub dan tahu dunia malam kayak beginian, aku paham nggak mungkin kami membiarkan teman kami yang mabuk dibungkus orang lain.
"Kita terpaksa bawa Habib tidur di kamar kita," kata Putra ketika kami sudah dekat hotel. "Nggak mungkin kita biarin dia balik ke hotelnya sendirian. Dan nggak mungkin juga kita tidur di hotel dia."
Jadi kami berhenti di depan hotel kami.
Di lobi, Habib sudah agak sadar dikit walau jalannya masih sempoyongan sehingga kami masih harus memeganginya supaya nggak jatuh. Satpam yang jaga hotel untungnya nggak banyak tanya, mungkin dia sudah familier dengan orang mabuk. Kami masuk ke lift dan naik ke lantai kamar kami berada.
Di kamar, Habib segera kami baringkan di kasurnya Putra, lalu setelah itu aku dan Putra duduk kelelahan di kasurku.
"Huh, capek juga ngebopong Habib," kata Putra. Keringatnya muncul di kening. "Gue kira dia kuat minum, tahunya cupu."
Nggak lama kemudian Habib terbangun dan dengan sempoyongan berjalan ke kamar mandi. Dia muntah di dalam sana. Suara muntahnya kedengaran karena dia nggak menutup pintu. Putra bergegas menghampirinya, lalu aku menyusul.
Habib terduduk di lantai kamar mandi dengan dagunya bersandar ke dudukan WC. Muntahnya memenuhi lubang pembuangan, yang segera di-flush oleh Putra. Untung aku nggak jijikan, jadi aku nggak masalah dengan baunya. Ah, ganteng-ganteng ngerepotin.
"Sorry," kata Habib lemah, "gue dicekokin minum banyak banget sama cowok di meja dekat kita, yang ganteng itu." Dia mulai ngelantur. "Katanya cuma dikit aja, tahunya banyak. Gue nolak tapi dia maksa dan janji mau ngajak gue pulang bareng. Lagian, dia juga cakep. Harusnya gue sama dia malam ini, terus kenapa gue di sini? Cowok itu ke mana?"
Putra memandangku sambil geleng-geleng. Aku paham salah satu efek alkohol memang bisa membuat seseorang bicara dengan jujur. Habib secara langsung mengatakan bahwa dia gay-atau mungkin juga biseks karena di pipinya ada bekas lipstik cewek. Fakta bahwa Habib gay seharusnya membuatku kegirangan, tapi yang kurasakan malah biasa aja. Karena sejak awal aku cuma mengagumi kegantengannya aja, tapi aku nggak merasakan debaran yang kurasakan seperti ketika aku bersama Putra karena Habib kurus. Yeah, aku memang begini. Cowok seganteng apa pun kalau kurus nggak akan bisa membuatku berdebar-debar hebat.
Mata Habib terbuka satu, "Kak Putra? Kak Putra ganteng loh, gembul, pengen peluk ..." Habib sudah mengulurkan tangan untuk memeluk Putra, tapi aku sigap menarik cowok gemuk itu dari jangkauannya. Heh, enak aja. Yang satu ini punya gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
F*ck Boy
Fiksi UmumAlung terjebak toxic relationship. Dia ingin bebas, tapi dia takut sendirian. Lalu ada Putra yang datang membebaskannya. Tapi, tetap saja dia merasa sendirian.