Bab Delapan: Ciuman Putra?!

275 27 5
                                    

APA mungkin ini yang dinamakan trauma? Setiap kali aku menutup mata—dan di setiap malam dalam tidurku—kenangan malam itu di rumang kosong bermunculan di latar belakang hitam seperti kilas balik dalam film. Yang membuatku takut adalah rasa sakit yang kurasakan seolah nyata, seolah aku kembali berada di sana, dilecehkan empat lelaki bajingan itu, yang salah satunya adalah pacarku sendiri ...

"Lung?"

Aku tersentak ketika Putra memanggil sembari menyentuh bahuku. Padahal sentuhannya lembut dan seharusnya aku nggak terkejut, tapi toh aku terlonjak juga dan nyaris bangkit dari kursi saking paniknya.

Putra menatapku keheranan. "Lo baik-baik aja?"

Aku mengangguk. Kuembuskan napas pelan-pelan, lalu kembali duduk di kursi. Jantungku masih menggebu.

Putra duduk di sebelahku. Dua gelas kopi Starbucks yang tadi dia pesan untukku dan untuknya dia letakkan di meja di hadapan kami. Dia menatapku lekat-lekat, rautnya bisa dibilang khawatir. "Lung, lo yakin lo baik-baik aja? Udah tiga kali refleks lo kaget kayak gitu cuma karena gue pegang bahu lo."

Aku meraih gelas Starbucks di meja, meminumnya pelan-pelan supaya detak jantungku tenang. Kengeriannya masih terasa nyata. Aku sampai nggak berani menutup mataku lagi. Aku ingin mataku terbuka terus supaya aku sadar aku sedang berada di mana, sama siapa, bukannya sedang berada di rumah kosong bersama cowok-cowok bangsat itu ...

"Lung?" Putra memanggilku lagi.

Aku mencoba tersenyum, walau agak susah dan akhirnya cuma senyum kecil yang terbentuk. "Gue nggak apa-apa, Put. Cuma tadi lagi ngelamun, lo malah tiba-tiba nepuk bahu gue, ya kagetlah gue."

Putra menatapku nggak percaya. "Lo pembohong yang payah."

"Beneran, gue nggak kenapa-kenapa." Daripada dia makin mencecarku, kuubah saja topik pembicaraan. "Kapan kita boarding?"

Dia melihat jam tangan di pergelangan kirinya. "Sebentar lagi. Mau ke WC dulu nggak?"

Aku tersenyum geli. Inilah Putra, orangnya suka nanyain hal-hal yang sebenarnya penting, tapi juga nggak terlalu penting. "Belum mau pipis. Kita nanti sampai Jakarta langsung ke hotel, kan?"

"Yaa. Kenapa sih buru-buru banget sampe hotel? Kasur kita nggak barengan kali, Lung, jadi jangan berharap yang nggak-nggak."

"Yeee, emangnya gue berharap apa? Jangan gila deh," kataku, pura-pura sewot. Padahal aku berharap banget Putra pesan kamar yang double biar kami bisa tidur barengan satu kasur, tapi tahunya dia pesan kamar yang twin. Kesel banget sekamar tapi kasurnya misah.

Kalian jangan senyum-senyum dulu, ya. Aku sama Putra bukan lagi mau liburan berdua, tapi kami ada perjalanan dinas ke head office di Jakarta. Ada training gitu yang harus aku hadiri, dan entah kebetulan atau gimana, Putra juga ada training di hari yang sama. Jadi untuk menghemat uang (dan sekalian cari untung), sekalian saja kami pesan hotel barengan.

"Lung, selama kita di Jakarta nanti gue nggak mau lagi lihat lo yang kayak gini," kata Putra tiba-tiba, mendadak suaranya berubah jadi serius.

"Kayak gini kayak mana?"

"Ya kayak gini." Dia memindaiku dari kepala sampai kaki. "Suka ngelamun nggak jelas, kaget nggak jelas, apa-apa serba nggak jelas." Dia memajukan kepalanya, matanya mengunciku. "Lo berubah jadi kayak gini sejak cowok lo jemput di rumah gue waktu itu."

Aku nggak kuat lama-lama ditatapnya seserius itu, jadi aku mengalihkan pandangan. "Jangan ikut campur, Put. Gue kan udah bilang, ini nggak ada urusannya sama lo. Gue nggak mau orang lain mencampuri urusan gue," kataku, mati-matian menahan diri supaya nggak menangis. Putra peduli banget sama aku. Masalahnya, dia jelas banget tulus peduli sama aku sehingga aku nggak tahu harus bagaimana dengan tatapannya yang tulus dan menuntut jawaban itu.

F*ck BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang