Bab Enam: Putra Baik Banget!

264 44 2
                                    

KUPUTAR lagi video itu untuk yang keseratus kalinya. Wajahku terpampang jelas di kamera. Reza anjing pasti sudah mengedit video ini karena seharusnya ada suara desahannya, tapi sekarang videonya sunyi senyap, menghapus bukti keberadaannya. Dia hanya ingin aku yang berada di video itu. Dan memang itu tujuannya, kan? Dia ingin mengontrol aku.

Pintu kamar mandi diketuk, aku terlonjak kaget dan nyaris menjatuhkan iPhone 8-ku lagi. Layar iPhone-ku pecah ketika aku menjatuhkannya di kantor waktu pertama kali melihat video itu, tapi untungnya masih berfungsi dengan baik. Aku nggak pingsan, cuma kaget dan nggak nyangka mimpi buruk ini terjadi. Putra membantuku berdiri setelah dia melihatku jatuh dan mengira aku beneran punya epilepsi, lalu dia mendudukkanku di kursi. Aku menjelaskan padanya bahwa aku pusing karena belum makan, jadi setelahnya dia membawaku ke salah satu tempat makan di dekat kantor, dan di sinilah kami sekarang. Aku pamit ke kamar mandi untuk memutar ulang video itu lagi, karena aku masih belum percaya video yang kutakuti selama ini akhirnya tersebar juga.

"Lung, are you okay?" Suara Putra terdengar khawatir.

Aku memasukkan handphone ke saku celana, lalu menekan flush sebelum menjawab, "Yeah, I'm fine."

"Lo nggak fine deh kayaknya," kata Putra lagi. "Lo diare?"

"Nggak. Tunggu sebentar." Setelah mengusap air mata dan mengembuskan napas, aku membuka pintu. Putra memandangiku khawatir. Aku agak heran karena dia terlihat khawatir beneran. "Gue baik-baik aja."

Putra memandangi mataku, yang pastinya kelihatan banget habis nangis, tapi kayaknya dia nggak mau membahas air mataku. "Lo di kamar mandi udah setengah jam, dan gimana itu bisa baik-baik aja? WC-nya mampet?"

Setengah jam? Aku nggak ingat. Aku kebanyakan mikir di atas dudukan toilet—atau sebenarnya aku hanya melamun kosong? Nggak ngerti. Aku merasa baru lima menit masuk kamar mandi sebelum Putra mengetuk pintu.

Aku menggeleng untuk pertanyaannya, kemudian kembali ke meja kami. Piringku masih penuh berisi nasi dan pecel lele, sedangkan piring Putra sudah bersih. Aku memang belum sempat menyentuh makan malamku karena nafsu makanku hilang sejak kulihat video itu.

"Sekarang makanlah dulu," kata Putra.

Aku mengangguk. Pecel lele ini seharusnya enak, karena ini salah satu warung makan favoritku. Sambelnya terkenal sebagai sambel paling enak sejagad raya, tapi malam ini rasanya hambar. Susah payah aku mengunyah dan menelan nasiku. Tiba-tiba otakku memunculkan gambaran yang masuk ke dalam mulutku adalah kelamin Reza anjing dalam video itu, bukannya nasi dan daging lele. Mendadak perutku mual. Aku buru-buru lari ke kamar mandi, dan muntahlah aku di toilet.

Putra menyusul di belakangku. Dia membantu memijat tengkukku sementara aku hoek hoek, tapi nggak ada isi perutku yang keluar karena memang nggak ada isinya. Aku terduduk lemas di lantai kamar mandi yang basah, dan Putra dengan iba berkata, "Lo nggak baik-baik aja, Alung."

Aku membiarkan Putra dan seorang yang bekerja di warung makan ini membantuku keluar dari kamar mandi dan masuk ke dalam mobil Putra. Aku ditinggalkan sendirian di dalam mobil sementara Putra membayar ke kasir. Kupandangi badan Putra yang gendut, dan raut wajahnya yang benar-benar khawatir tadi entah kenapa membuatku tersenyum. Ketika Putra selesai membayar, dia masuk ke dalam mobil sambil membawa gelas berisi air hangat dan satu sachet Tolak Angin.

"Minum ini dulu," katanya, membantu merobek sachet Tolak Angin dan menyerahkannya untukku.

Kuhabiskan Tolak Angin dan buru-buru memimun air hangatnya karena sebenarnya aku benci rasa pedas dari Tolak Angin-nya. Kehangatan menjalari tenggorokanku, dan aku mendesah lega. Perutku sebenarnya baik-baik saja. Aku mual tadi karena membayangkan kelamin Reza anjing di dalam video itu masuk ke dalam mulutku—

F*ck BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang