PELATIHAN hari pertama berlangsung nggak terlalu lama karena ini Sabtu yang cerah dan semua orang seharusnya sudah berada di tempat mana pun di dunia ini selain di ruang 15x18 meter yang menjadi tempat pelatihan kami. Aku nggak ngerti deh kenapa pelatihan hari pertama malah dimulai weekend. Kan hari-hari kerja lain ada lima, kayak balon. Tapi karena aku digaji sama perusahaan ini, jadi unek-unek itu aku simpan dalam hati aja.
Pelatihan selesai pukul dua siang dan Putra yang duduk semeja denganku langsung mengajakku keluar. Di luar kami bertemu beberapa peserta yang datang dari cabang lain. Putra mengenal beberapa orang karena dia kan anaknya ramah ke siapa pun dan mudah berkenalan, jadi dia menyalami beberapa orang dan ngobrol-ngobrol singkat dulu dengan mereka. Aku menunggu dengan melipat tangan di dekatnya.
"Kak Alung, ya?" Seseorang mendekatiku.
Oh, ini seseorang yang dari awal pelatihan sampai selesai tadi aku lihatin terus karena dia ini cakep bangetssss. Mukanya campuran antara Arab dan India, dengan hidung mancung, alis lebat, bibir merah tipis, dan kulit sewarna madu. Jambangnya yang tipis melintang di sepanjang garis rahangnya yang tirus, menyatu dengan janggut dan kumis tipisnya yang menambah kesan maskulin. Aku suka banget lihatin anak ini dari tadi. Kalau nggak salah namanya Habib, ya?
"Iya, hai." Aku langsung salah tingkah. Gini deh kalau ada cowok ganteng yang nyapa duluan, aku suka salah tingkah.
"Dari Lampung, kan? Aku Habib, dari Serang." Dia mengulurkan tangan, yang segera aku sambut. Tangannya dipenuhi bulu-bulu halus yang agak lebat. Duh, aku langsung mikir dadanya pasti banyak bulu juga.
Putra selesai ngobrol dengan orang-orang tadi dan dia mendekati aku dan Habib.
"Hai. Habib ya, kalau nggak salah?" kata Putra, menyalami Habib.
Habib tersenyum, lalu menjabat tangan Putra. Duh, nggak tahu kenapa deh ya aku melihat dengan jelas banget binar-binar di mata Habib waktu dia salaman dengan Putra. Kayak ada bintang-bintangnya gitu. Jangan bilang Habib naksir Putra, dan dia nyapa aku duluan tadi karena sebenarnya dia mau nyapa Putra tapi Putra lagi ngobrol sama orang-orang ? Astaga Alung, stop overthinking! Aku memarahi diri sendiri.
Habib ternyata nggak punya teman. Dia ke sini sendirian, sedangkan cabang lain datangnya berdua-berdua. Partnernya yang seharusnya datang ke sini nggak bisa datang karena sehari sebelumnya dia jatuh dari motor dan sekarang kakinya terkilir. Habis cerita dia sudah mencoba berteman dengan pasangan dari cabang Bandung tapi mereka jelas-jelas nggak mau banget ngajak Habib, jadi Habib mendekati kami karena dia melihat Putra kayaknya ramah ke semua orang jadi dia pikir mungkin Putra mau jadi temannya. Dan memang benar Putra langsung akrab gitu dengannya.
"Kalian habis ini mau ke mana?" tanyanya.
"Mau makan dulu," jawab Putra. Dia menoleh ke aku. "Mau makan dulu apa balik hotel dulu, Lung?"
"Terserah deh, gue ngikut," jawabku.
"Kalo lo mau ke mana?" tanya Putra ke Habib.
"Ngikut kalian aja, boleh?"
Nggak boleh! Aku marah dalam hati. Soalnya malam ini aku sama Putra rencananya mau ke Monas berduaan aja. Habis itu mau jalan-jalan motoran ke sekitaran Jakarta pakai motor sewaan. Kalau ada Habib kan nggak bakal kesampaian. Hih! Ada aja loh pengganggunya! Pengganggunya macam Habib yang ganteng pula. Aku mau marah tapi nggak bisa.
Akhirnya kami sepakat untuk balik ke hotel dulu. Hotelnya Habib terletak nggak jauh dari hotel kami, jadi setelah mandi dan beres-beres kami akan ketemuan di dekat hotel kami, lalu setelah itu kami akan pergi ke mana pun kami ingin pergi. Aku cemberut di dalam Grab selama perjalanan balik ke hotel karena Putra dan Habib yang duduk di kursi tengah mobil asyik banget ngobrol soal game dan segala macem, sedangkan aku duduk di sebelah sopir diem aja kayak orang bego. Begitu sampai hotel—aku dan Putra sampai duluan—aku langsung turun tanpa ngomong apa-apa ke Habib, lalu naik ke kamar tanpa nungguin Putra.
KAMU SEDANG MEMBACA
F*ck Boy
General FictionAlung terjebak toxic relationship. Dia ingin bebas, tapi dia takut sendirian. Lalu ada Putra yang datang membebaskannya. Tapi, tetap saja dia merasa sendirian.