Bab Sembilan: Ketindihan Putra!

257 19 6
                                    

KAYAKNYA ciuman Putra itu memang cuma mimpi. Sebab ketika aku membuka mata dari tidur, Putra masih terdengar ngorok di ranjang sebelah. Aku bangun dan menggeliat di kasur, duduk sambil memandangi wajah Putra yang jeleknya minta ampun ketika tidur: mulutnya terbuka, suara mirip knalpot motor tong setan keluar dari tenggorokannya. Tapi aku gemas lihat pipinya yang gendut itu, juga melihat rambutnya yang acak-acakan, perutnya yang naik turun, pokoknya walaupun muka tidurnya nggak estetik, tapi badannya yang gemuk itu tetap terlihat menggemaskn di mataku.

Lima menit mungkin lamanya aku memandangi Putra sambil mengkhayalkan memeluk tubuhnya yang gendut itu, sampai akhirnya alarm di hape Putra berbunyi keras dan membuatnya terbangun. Dia agak kaget ketika membuka mata dan bertatapan denganku, lalu dia buru-buru meraih hapenya dan mematikan alarm. Setelahnya dia mengusap wajah dan berbaring telentang di kasur.

"Gue ngorok, ya?" tanyanya malu-malu.

Aku mengangguk kikuk. "Kayak suara motor balapan liar."

Putra tertawa keras-keras. "Cewek gue malah bilang suaranya kayak letusan gunung Krakatau."

Aku tersenyum, tapi di hatiku ada kecemburuan yang membakar karena ceweknya Putra tahu suara ngoroknya, yang berarti mereka sudah tidur seranjang, kan? Duh, mustahil mereka tidur seranjang kalau nggak ngapa-ngapain.

"Lo apa gue duluan yang mandi?" tanyanya.

"Lo aja dulu, gue masih pengen rebahan," jawabku sembari membaringkan badan dan buka aplikasi TikTok di hape.

Tapi Putra nggak beranjak bangun dari kasurnya. Dia malah menarik selimut sampai ke dagu. "Gue juga nanti aja ah. Masih jam 6 juga, kan. Kita masuk kantor jam berapa sih?"

"Jam 8 sih infonya. Tapi kantor kita agak jauh, dan ini Jakarta loh, Put. Kemungkinan kita kejebak macet, nanti malah telat sampe kantor—"

"Iya, iya, Nyonya besar. Lima menit lagi, ya," dengusnya sambil menarik selimut menutupi kepalanya.

Aku putar bola mata, lalu menghadap ke kiri memunggunginya. Scroll TikTok lumayan juga, bisa bikin aku lupa dengan Reza dan semua masalahku, tapi tetap saja rasanya sulit untuk menghalau pikiran menakutkan itu.

"Lung?" Putra di belakangku memanggil.

Aku balik badan, terkejut karena ternyata dia lagi menghadapku. Walaupun jarak ranjang kami dipisahkan oleh sebuah meja kecil, tapi aku merasa sangat dekat dengan tatapan matanya yang akrab itu, seolah-olah kami berada di ranjang yang sama. "Ya?"

"Lo baik-baik aja, kan?"

Aku tersenyum. "Ya. Kenapa deh? Baru bangun tidur gue nih, kenapa juga harus nggak baik-baik aja?"

"Soalnya tadi malem lo tidurnya gelisah."

"Gelisah gimana?"

"Lo tidur tapi kayak orang nggak tidur. Kayak tidur-tidur ayam."

"Semalem gue nyenyak, kok," jawabku, nggak yakin.

"Tapi yang gue lihat semalem lo tidurnya nggak nyaman." Putra menatapku lekat-lekat. "Kalo lo ada masalah, lo tahu kan lo bisa cerita ke gue kapan pun lo mau?"

Aku diam.

"Walaupun tadi malam lo dengan gamblang menjelaskan hubungan kita sebatas rekan kerja, tapi kalo lo butuh temen curhat, gue bakal selalu ada kok buat dengerin curhat lo."

Aku masih diam. Bingung harus merespons bagaimana.

Untung banget Tiara nelepon, nada dering hapeku memecah kesunyian yang terasa canggung di antara aku dan Putra. Buru-buru kujawab telepon dari Tiara. Putra di kasurnya memperhatikanku.

F*ck BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang