Prolog

1.7K 137 12
                                    

AKU datang terlambat ke pesta ulang tahun Pak Trimo, kepala cabang kami, karena tadi harus berantem sebentar dengan Reza. Aku memergokinya chatting-an dengan cowok lain, yang sialnya—dan ini yang membuatku marah dan cemburu—cowok lain itu lebih cakep dari aku. Ini kali keempat Reza ketahuan chatting mesra-mesraan dengan cowok lain, dan tiga kali sebelumnya aku nyaris ingin putus darinya, tapi nggak jadi melulu karena aku takut bakal sendirian. Alasan konyol memang, tapi kalau kalian tahu rasanya sendirian itu nggak enak, kalian pasti paham.

Orang-orang menyapaku ketika aku sampai di pesta yang diselenggarakan di rumah Pak Trimo. Aku menoleh ke sana kemari mencari Tiara, sahabatku, tapi nggak menemukannya di mana pun. Lalu aku bergerak mendekati Pak Trimo yang sedang dikelilingi beberapa orang yang kelihatannya orang penting karena mereka memakai jas. Sambil menunggu Pak Trimo bebas dari orang-orang penting itu, kujulurkan kepala mencari Tiara. Aku mau cerita sama dia.

Alih-alih melihat Tiara, mataku malah berserobok dengan mata Putra, anak baru di kantor yang baru gabung 3 hari tapi rasanya kayak udah 3 tahun karena dia anaknya ramah dan bisa cepat akrab dengan orang lain. Dia tersenyum sambil mengangkat minumannya, aku cuma balas tersenyum.

Setelah orang-orang penting nggak lagi mengelilingi Pak Trimo, aku bergegas mendekatinya dan menyerahkan kado ulang tahunnya.

"Kenapa terlambat, Lung?" tanya Pak Trimo. Dia lalu mengerutkan kening, "Mana Reza?"

Pak Trimo berteman baik dengan ayahnya Reza, dan kemarin aku bilang ke dia kalau aku akan datang ke sini bersama Reza, tapi sialan cowok itu malah bisa-bisanya ketahuan chatting-an dengan orang lain di saat-saat seperti ini.

"Dia nggak enak badan," jawabku.

Pak Trimo mengambil kado dariku dan menyerahkannya ke istrinya. Istri Pak Trimo menyalamiku, dan aku mencium tangannya, lalu dia mengucapkan terima kasih.

"Ada pancake durian buatan istri saya di dekat kolam renang," kata Pak Trimo ketika aku balik badan.

Pancake durian adalah favoritku. Nggak cuma pancake, semua yang berbau durian, aku sukak. Tempoyak. Durian ketan. Es durian kacang. Durian float. Durian runtuh. Aku melangkah ke kolam renang yang terletak di halaman belakang rumah Pak Trimo. Aku bertemu dengan beberapa orang dari kantor, tapi yang kucari malah belum ketemu. Aku berhenti sebentar di dekat panggung yang sekarang DJ sedang memutar lagu santai sehingga orang-orang berdansa lambat di ruang tengah rumah Pak Trimo yang disulap jadi ruang dansa. Aku menelepon nomor WA Tiara tapi nggak ada jawaban, padahal berdering. Dia pasti lagi asik ciuman dengan Radit.

Pancake durian itu masih banyak banget. Aku heran kenapa orang-orang nggak suka durian? Padahal baunya kan enak banget. Bau surga, kalau kata Hendra, adikku, yang juga penggila durian. Well, sekeluargaku penggila durian. Papaku bahkan bercita-cita kepingin punya kebun durian sendiri, tapi nggak pernah kesampaian karena gajinya selalu habis buat bayar cicilan Mama.

Karena kelaparan, pancake durian itu habis lima kumakan. Enak banget. Mau nangis saking enaknya. Ini buatan istri Pak Trimo yang memang terkenal karena kenikmatannya. Tiap kali kami meeting bulanan bahas target, Pak Trimo selalu bawa pancake durian buatan istrinya, dan sejak saat itu aku jadi menghormati istrinya. Makanya tadi aku salaman cium tangan sama dia.

Aku haus. Kucomot empat pancake durian dari wadah, membawanya pergi ke meja minuman yang terletak di bagian lain kolam renang. Ada berbagai macam jenis minuman, dari yang beralkohol sampai yang cuma soda doang. Aku benci alkohol, jadi kuambil sekaleng Coca Cola dan membukanya. Seger banget. Pancake durian plus Coca Cola, mantapp. Untung aku lagi nggak hamil.

"Nggak mau coba yang lebih berat?" tanya seseorang yang tiba-tiba muncul di sebelahku.

Putra.

Malam ini dia terlihat makin menggemaskan dalam balutan kemeja hitam yang lengannya digulung dan celana putih bersih yang tampak pas di kakinya. Dua kancing atas kemejanya dibuka, memperlihatkan sedikit bulu dadanya. Aku ingin bersiul untuk bulu-bulu itu, tapi aku menahan diri.

"Apa yang lebih berat?" Aku balik bertanya.

Dia menunjuk kaleng Coca Cola-ku. Kulirik botol hijau soju yang dipegangnya. Aku tersenyum sinis. "Situ sendiri minumnya cuma soju."

"Lebih beralkohol daripada Coca Cola," katanya. "Lelaki dewasa minumnya yang beralkohol."

Aku menahan tawa. Anak ini kelahiran tahun 98, yang artinya 4 tahun lebih muda dariku. Dia baru lahir saat Kerusuhan Mei 1998 terjadi, sedangkan aku sudah 4 tahun. Ya walaupun aku juga nggak tahu apa yang terjadi saat Kerusuhan 1998, tapi seenggaknya aku sudah ada saat kejadian penting dalam sejarah negeri ini terjadi.

"Lelaki dewasa harusnya nggak minum alkohol," kataku.

"Kenapa begitu?"

"Karena lelaki dewasa harusnya tahu mana yang bagus dan nggak bagus untuk tubuhnya."

Dia cuma angguk-angguk sambil tersenyum. Kami saling melirik, kukira dia bakal membalas ucapanku, tahunya malah menenggak Soju-nya sampai habis.

"Alkohol for life," ucapnya.

Aku mendengus geli.

Tanpa perlu dicari, mendadak Tiara muncul dalam jarak pandangku. Dia menengok ke sana ke sini seperti mencari seseorang, dan saat matanya bertemu denganku, dia sepertinya menemukan siapa yang dicari. Langkahnya buru-buru ketika dia—bisa dibilang—berlari ke arahku.

"Ada apa?" tanyaku kemudian ketika dia sampai di depanku. Dia ngos-ngosan.

"Gue ngambil napas dulu," katanya, agak dilebih-lebihkan. Padahal larinya nggak sampai 3 meter.

Putra di sebelahku mengambil sebotol soju lagi, menawarkan padaku, tapi aku menolak. Malah Tiara yang menyambarnya. Dia minum setengah isi soju itu dan Putra tersenyum mesum. Aku memelototi anak baru itu.

"Ada apa, sih?" tanyaku. "Lo kayak punya berita penting yang harus lo sampein ke gue."

Tiara mengangguk. "Lo pasti berantem lagi sama Reza, kan?"

Aku mengangguk.

"Lo bilang nggak kalau lo jadi dateng ke sini?" tanya Tiara lagi.

Aku menjawab, "Nggak. Gue bilang mau di rumah aja, nggak ke mana-mana."

"Sialan!" umpat Tiara. Napasnya mendadak nggak ngos-ngosan lagi. "Gue kira itu beneran sepupunya. Si Reza anjing—"

Aku tahu kenapa Tiara ngatain Reza anjing, karena cowok itu memang kayak anjing. Mataku nggak lagi fokus ke Tiara yang masih ngoceh, tapi ke Reza yang dengan santainya masuk ke halaman belakang ... ditemani cowok yang tadi chatting-an sama dia.

Dikuasai amarah, aku bergerak sendiri seperti banteng yang dikibas-kibasin kain merah. Kuambil kaleng soda dari meja, berlari mengitari kolam renang sambil membuka tutup kaleng, dan Reza kelihatan kaget melihatku berlari ke arahnya dengan marah.

Tapi, selanjutnya yang bisa kuingat adalah aku terpeleset lantai kolam yang licin, dan aku belum sempat menyiram Coca Cola ke muka Reza ketika tubuhku jatuh tercebur ke kolam.

Byurrrrr ....




Bandar Lampung, 13 November 2020

F*ck BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang