🎻 violin ° 13

6.3K 1.4K 573
                                    

🎻


Happy Reading!

🎻

Rasha menganga lebar ketika melihat apa yang dibagikan The X di komunitas sekolah, malam ini.

The X

Moka (XII IPA 2) & Arsya (XI IPA 3) = ± 5 tahun pacaran

Komik bergenre fantasi di genggaman tangan kiri seketika jatuh membentur lantai, hingga menimbulkan suara debam yang lumayan nyaring.

"Gimana mereka bisa ... "

Tanpa berpikir panjang, Rasha menekan tombol dial pada kontak Moka, untuk memastikan kondisi pemuda itu.

"Ya, Sha?" kata Moka usai mereka bertukar salam.

"Lo ... lagi apa?" Rasha menggigit bibir, berusaha menahan diri untuk melayangkan pertanyaan: apakah Moka sudah melihat unggahan The X di komunitas sekolah atau belum.

"Gue lagi review materi, Senin ini kan, udah mulai Ujian Nasional."

"Berarti Senin lo berangkat, dong?"

Oke, ini pertanyaan yang konyol. Dan Rasha mengakuinya.

"Ya, masa enggak?"

Rasha memejamkan mata, ketika punggungnya terasa lebih berat. Bayangan pemuda itu diserang puluhan komentar jahat membuat khawatir bercampur panik dengan tidak sopannya mendekap si hati.

Gue takut kejadian dulu terulang, batin Rasha, kembali teringat.

Ketika masih duduk di bangku SMP, Moka dan Arsya pernah mendapat serangan dari murid-murid—yang mayoritas perempuan—, hanya karena mereka menjalin hubungan. Saat itu, Rasha memang belum dekat dengan mereka. Hanya sekadar tahu nama.

Namun, pada suatu kesempatan, ketika keluarga Moka juga Arsya memutuskan untuk mengambil jalur hukum, Rasha yang tengah berkeliling di arena belakang sekolah sambil membawa novel, tak sengaja bertemu Moka yang sedang merunduk sambil memegangi kepala, menutup bagian telinganya kuat-kuat.

Dulu, Rasha pikir, apa yang dilakukan Moka adalah bentuk dari sakit kepala biasa. Begitu mereka dipertemukan di kelas sepuluh, tepatnya ketika pasangan itu sedang mengalami pertikaian, Rasha kembali dibuat flashback kala melihat gelagat Moka yang memegangi kuat kepalanya, lengkap dengan keringat bercucuran, juga napas yang menderu.

"Sebenernya ada apa?" tanya Rasha ketika mereka sudah membawa Moka ke ruang kesehatan.

Arsya mengusap air matanya yang mengalir. "Gue tadi minta putus sama kak Moka. Karena gue pikir, kehadiran gue cuman rugiin dia. Gara-gara pertahanin gue, kak Moka jadi gini. Dan bodohnya, gue malah bahas kejadian waktu SMP. Akibatnya, anxiety kak Moka jadi kambuh."

Kening Rasha berkerut. "Anxiety?"

Arsya mengangguk, "kejadian pembullyan gue yang menyeret nama kak Moka, berimbas ke mentalnya. Kak Moka juga jadi takut tiap kali ada komentar jahat yang dateng ke dia."

Rasha mengangguk-angguk, "Lo cinta sama dia?"

"Tentu."

"Kalau gitu jangan pernah minta putus. Kalian udah berjuang sampai di titik ini. Sayang kalau dilepas."

Rasha menghela napas begitu kilasan masa lalu itu terputar di benak.

"Lo lagi ngapain, dah? Telfon gue cuman buat pamer kalau lo masih hidup?"

Violin  • completedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang