🎻 violin ° 35

5.4K 1.1K 129
                                    

Happy Reading!

🎻

Di sofa depan televisi itu, Rasha memandang email atas nama Meisya dengan pandangan heran. Sudah dua minggu sejak kejadian pemukulan Aresh pada Bara, gadis itu tak kunjung membalas emailnya:

From : arashakaterin@tmail.com
To : kinarameisya@tmail.com
Subjek : -

Maksud lo apa ngasih tahu Aresh tentang masa lalu gue sama Bara? Lo mau adu domba keluarga gue? Ga cukup yang waktu SMP?
Kalau lo baca email gue ini, coba deh lo pikir, gue itu ga pernah rusuhin lo, makan juga pake duit gue sendiri. Emang pernah gtu gue minta duit lo satu perak aja? Kagak kan. Jadi stop. Ga usah childish. Gue ya gue, lo ya lo.

Helaan napas berat pun meluruh di sela pengerjaan contoh soal matematika SBMPTN-yang diberikan Rian beberapa menit lalu-, sebelum sebuah cubitan di hidung datang menyentak lamunannya.

"Kerjain, bukan ngelamun."

Rasha menoleh jengah pada Rian. Pemuda yang satu itu rupanya lebih kejam dari guru killer, saat berhadapan dengan materi. Terlebih saat kacamata itu bertengger manis di tulang hidung. Aura hangat yang biasa mendekap erat, kini tidak terlihat barang satupun.

"Sha," ucap Rian memberi peringatan.

"Iya, iya. Ini mau gue kerjain."

Sambil menggerutu, Rasha pun meraih pensil mekanik, yang ia gunakan untuk menjawab soal matematika. Entah benar atau salah, Rasha hanya bisa pasrah selama mengerjakan.

"Yang kerja itu jari, mata, sama otak. Bukan mulut," sindir Rian kesekian kali.

Mulut Rasha menganga lebar. Bukan karena terpukau, melainkan karena ia sudah tak memiliki stok kata-kata untuk membalas ucapan tajam pemuda itu.

"Iya, Pak Guru," sahut Rasha setengah jengkel.

Gadis itupun mengerjakan soal tanpa kebisingan sesuai perintah pemuda bernama lengkap Riano Averon Elbrensa itu. Lalu menyerahkan soal yang sudah ia isi dengan gerakan kasar, lengkap disertai wajah memberengut.

Rian melirik sekilas wajah Rasha, lalu mengamati pilihan jawaban gadis itu sembari tangannya bergerak memberi coretan memanjang atau centang, tepat di bagian nomor.

Helaan napas menguar. "Dari dua puluh nomor, kenapa yang bener cuman satu?"

Alih-alih kesal karena jawaban yang dipilih dominan salah, Rasha justru mengerjap terkejut karena ada satu jawaban yang benar.

"Wah, keren."

"Apanya yang keren, Sha?"

"Tumben ada yang bener." Rasha menyengir usainya.

Begitu kontras dengan Rian yang kini malah memasang decakan kesal, sebelum menaruh lembaran kertas lain, yang lalu diberikannya tepat di hadapan Rasha.

"Lagi?!" Nada bicara Rasha seketika meninggi.

"Hm. Sampai jawaban lo bener semua."

Bola mata Rasha melotot tak percaya. "Lo bercanda, kan?"

"Apa muka gue menunjukkan candaan?"

Rasha mengamati wajah serius Rian dengan pandangan setengah takut. "Lo-"

Violin  • completedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang