🎻 violin ° 20

6.5K 1.4K 180
                                    

Maaf kalau ada typo, ya, belum sempat direvisi ulang 🙏🏻

🎻

Happy Reading!

🎻

Rasha mengamati ke sekian kalinya pada gaun abu—cenderung silver—yang akan dikenakannya besok pagi, di acara perpisahan kelas dua belas.

Decakan kesal lalu hadir memenuhi seisi ruang kamar. "Kenapa budhe biarin gaun merah yang udah gue pilih dari jauh hari dibeli sama orang lain, sih?"

Ceklek

Aresh masuk tanpa permisi, memasang raut heran pada sang kakak sembari mendekat ke nakas, untuk mengambil charger ponselnya yang dipinjam—namun belum juga dikembalikan.

"Padahal gue udah sengaja beli warna lipstick yang sama biar match. Bahkan high heels sama tas pun udah satu warna." Rasha menyambung omelan. Gadis itu belum sadar jika ada Aresh di kamarnya.

Rasha menjambak rambutnya kuat-kuat. "Kalau bukan kepunyaan budhe sendiri, udah gue bakar itu butik dari tadi!"

"Lo mau saingan sama cabe atau paprika? Demen banget pake warna serba merah. Enggak sekalian tuh rambut di cat merah? Biar pas nyebrang semua kendaraan berhenti, karena ngira lo lampu lalu lintas."

Gerutuan Aresh yang mengalir tanpa jeda membuat Rasha melirik galak pada pemuda itu. "Lo bisa diem enggak, sih? Gue kutuk jadi paprika juga ntar."

Aresh hanya mendengus singkat sebelum berbalik dengan kabel charger di tangan kiri.

"Ngomong-ngomong," Ucapan Rasha berhasil mencegat kepergian Aresh, "besok lo pake baju apaan?"

"Batik biru dongker."

Kepala Rasha mengangguk-angguk.

"Kenapa?" tanya Aresh.

"Enggak. Gue cuman nanya doang. Sana minggat, kamar gue jadi bau kaus kaki kalau ada lo," usir Rasha tanpa belas kasih.

"Enak aja. Gue baru mandi gini dibilang bau kaus kaki," kesal pemuda itu seraya membuka pintu, lalu sengaja tidak menutupnya.

"Heh, Kumbang! Tutup lagi pintunya!" dongkol Rasha ketika melihat pintu kamarnya dalam keadaan terbuka begitu saja.

Dengan amarah yang menggebu, Rasha pun bangkit dari kasur, lalu berjalan keluar kamar, hendak menyeret Aresh. Namun sayang seribu sayang, sang adik sudah terlebih dulu masuk ke kamar dan mengunci pintu itu.

DUG!

Rasha menendang pintu kamat Aresg keras-keras untuk melampiaskan rasa kesalnya, sebelum kembali ke kamar dan mengunci pintunya.

Masih berdiri sambil menyender daun pintu, Rasha menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskannya secara perlahan lewat mulut. Ia berusaha kembali mengontrol kadar emosi yang membelenggu si hati, agar tidak semakin mengeruh.

Tepat di satu detik usai karbon dioksida itu keluar, nada dering ponsel Rasha berbunyi, lengkap dengan nama Bara yang terpampang di sana.

Rasha berdeham sebelum menggeser si tombol hijau. "Nomor yang anda tuju, tidak ingin diganggu manusia aneh seperti anda. Cobalah untuk mencari kawan lain untuk diajak bica—"

"Yaelah Sha, gue belum juga ngucap salam."

Rasha mendengus, lalu membalas salam yang baru saja Bara ucapkan.

"Kenapa lo nelfon gue? Kalau lo mau nyuruh gue buat nganterin lo milih motif kolor, gue ogah. Cari aja sendiri!"

Bara tertawa di seberang sana. "Enggak, kok, enggak. Gue lagi pengen aja nelfon lo. Lagian, gue kemaren baru aja beli kolor tye dye di mall sama Rian."

Violin  • completedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang