🎻 violin ° 34

5.1K 1.2K 193
                                    

Belum direvisi, jadi maaf ya, kalau ada typo yang mengganggu 🥺🙏🏻

🎻

HAPPY READING! 🤗

🎻

Walau sudah memaafkan kedua orang tua yang dulu pernah menyakiti fisik juga batinnya, Rian masih belum bisa membuang canggung yang ada.

"Saya janji tidak akan menyakitinya lagi."

"Saya siap melakukan apapun agar Rian bahagia."

Dua kalimat yang Rian tangkap kala ia merengkuh tubuh mereka masih terngiang di benak. Sekaligus yang membuat kata maafnya meluncur begitu saja dari si mulut.

"Ya Allah, terimakasih atas kesempatan yang Engkau berikan kepada hamba. Hamba janji akan menjaga kesempatan ini dengan sebaik mungkin."

Terhitung sudah empat kali Rian mendengar sang bunda membatin demikian. Begitu pula dengan sang ayah.

Selama di dalam ruangan, Rian berusaha menjawab pertanyaan sederhana yang terlontar, seperti bagaimana ia menjalani kehidupan SMAnya, rencana kedepan setelah tamat sekolah, juga perkembangan memainkan biola. Ia bersyukur mereka tak membahas soal traumatis yang diderita.

"Apa Rian boleh meminta sesuatu sama Ayah, juga Bunda?"

Tubuh mereka menegak antusias. "Apa itu, Nak? Bilang saja. Kami pasti akan berusaha untuk mengabulkannya," ucap Vale mewakili.

Rian mengamati kedua wajah penasaran itu bergantian. "Mulai detik ini, Rian mau Bunda dan Ayah fokus pada kesembuhan kalian. Rutin minum obat, juga makan yang banyak. Anggap saja kedua hal itu adalah cara untuk menebus kesalahan kalian."

Vale menoleh pada Satria, dan keduanya mengangguk. "Pasti, kita berdua pasti akan sembuh."

Rian mengulas senyum, begitu pula dengan Reza yang berdiri tak jauh dari pemuda itu.

Pembicaraan tadi sekaligus merupakan percakapan terakhir mereka sebelum Rian memutuskan keluar, mengingat jam besuk sudah pada batas waktu.

Ddrrtt Ddrrtt

Kemoceng Bulu Ayam is calling ...

Rian berusaha untuk tidak tertawa kala melihat nama kontak Rasha, yang ia ubah beberapa menit lalu.

"Ya, Sha?"

"Udah kelar? Udah maafin mereka?"

"Udah, Cantik."

Seiring kata itu terucap, bayangan Rasha yang mengukir senyum tersemat di benak.

"Good. Kalau gitu lo sekarang ke depan. Gue di mobil."

"Kok, lo ke sini?"

"Enggak lupa sama hadiah yang tadi gue janjiin, kan?"

Ah, iya. Hadiah. Rian ingat sekarang.

"I'm coming."

Begitu sambungan terputus, kepala Rian lantas menoleh pada Reza yang tengah mengetik sesuatu di ponsel itu.

"Kak Reza bisa pulang sendiri, Rasha nyusul ke sini, soalnya."

Menyimpan ponsel begitu pesan terkirim, Reza mengangguk mengiakan, namun sebelum ia membiarkan Rian pergi, Reza berkata sesuatu yang membuat kepala Rian mengangguk, disertai senyuman simpul.

"Makasih udah mau kasih kesempatan buat mereka, kakak akui, kamu keren, Yan. Enggak semua orang bisa memaafkan kesalahan besar seperti kamu. Untuk kedepannya, pikirin aja yang bikin kamu bahagia. Oke?"

Violin  • completedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang