🎻 violin ° 18

7.3K 1.5K 471
                                    

Eiyyo, kak Fi dateng lagi dengan membawa si martabak, kemoceng, dan kolor 🙈🎻

Q : Kalian punya trauma enggak? Kalau punya, kalian trauma sama apa?

🎻

Happy Reading! ❤️

🎻

Rasha memandang pak Botak alias pak Budi—guru BK kesayangan—di hadapannya dengan tatapan sedih.

Moka yang berdiri di samping kanan bahkan sudah mengulurkan lembar tisu keenam untuk mengusap air mata yang menganak sungai di pipi gadis itu.

Melihat tangisan Rasha semakin keras, kepala pak Budi menggeleng heran.

Gadis itu benar-benar tak peduli situasi ramai di sekitar.

Ia jadi merasa seperti guru jahat yang sudah menganiaya muridnya. Padahal, Rasha sendirilah yang sudah merecoki hidup seorang pak Budi selama tiga tahun mengajar di SMA GUSTAV.

"Sudah, jangan menangis lagi, Nak Rasha."

Rasha menarik ingus.

"Seharusnya kamu senang, kan, tidak bertemu bapak lagi? Karena bapak juga merasa senang, akhirnya bisa menghirup udara bebas dan tidak lagi frustrasi melihat ulah ajaib kamu."

Raut Rasha memasam, tepat sebelum tangisnya membesar hingga menarik perhatian orang lebih banyak.

"Bapak jahat. Justru saya sedih, Pak. Karena setelah ini, saya tidak bisa melihat lagi kepala Bapak yang shining shimmering splendid itu." Rasha menerima lembar tisu ketujuh dari Moka sebelum menyambung untaian katanya.

"Saya menyesal—hiks,"

"Menyesal atas semua tingkah buruk kamu selama SMA?" potong pak Budi.

Rasha menggeleng, "menyesal karena saya kurang banyak membully Bapak. Bapak pasti jadi kesepian setelah ini. Biasanya kan, Bapak sama saya rutin kejar-kejaran tiap pagi."

Kedua kelopak mata Moka memejam erat. Ia tak habis pikir dengan kalimat yang baru saja keluar dari bibir sang sahabat.

Pak Budi menghela napas. Guru itu nampak begitu jengah pada sosok Rasha. Terlihat sangat jelas di wajahnya saat ini.

"Sha, udah, gue enggak mau nanggung malu lebih banyak gegara lo." Moka berbisik penuh penekanan.

Mulut Rasha berdecak kesal, "lo mah enggak sabaran banget orangnya!"

"Bukan enggak sabaran, Dungu. Tapi kasian anak kelas dua belas lainnya yang udah ngantri di belakang lo," cicit Moka.

Dengan keadaan mata sembab, Rasha melirik ke belakang, dan menyengir kala menemukan cukup banyak pasang mata yang menatapnya datar di sana.

"Oke, oke, gue pindah. Udah bosen juga lihat muka pak Botak." Rasha memang berbisik, namun bisikannya terdengar jelas di kedua telinga pak Budi.

Walau memendam kesal, pak Budi berusaha menenangkan diri dengan kalimat: sabar, tenangkan dirimu, Budi. Ingat, ini adalah hari terakhir kamu berjumpa dengan murid terkutuk itu.

Bergeser sedikit, wajah bu Tuti, guru Fisika yang selama ini Rasha hindari untuk bertatap muka, malah terpampang jelas di sana.

Berbanding terbalik dengan apa yang diperlihatkan pada pak Budi, Rasha justru memasang senyum dua jari, seolah menyambut pertemuan akhir mereka.

Violin  • completedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang