Regrets : 12 - Frightened

986 116 37
                                    

All My Regrets : 12

.

.

.

"Hai, kalian lupa denganku?" singgung Armin yang sedari tadi hanya memperhatikan keduanya dalam diam.

Eren menahan rasa malu melihat tatapan Armin yang seperti sedang menggodanya. Melihat Armin yang sempat tertawa kecil, semakin membuat wajah Eren memanas. Mikasa diam menenggelamkan wajahnya pada pada Eren tanpa melepaskan genggamannya.

Hangat.

Iya, tapi-

Eren sedikit mengguncang tubuh Mikasa agar dia segera mendongak, tapi gadis itu tidak merespon. Justru Eren malah merasakan tubuh Mikasa semakin berat dan kedua tangan Mikasa terjatuh di sisi yang seharusnya.

-itu tak berlangsung lama.

"Mikasa?" panggil Eren, berharap gadis itu segera melonggarkan jaraknya. Dalam hati Eren tidak menolak, hanya saja ini terasa canggung karena ada Armin yang masih setia tersenyum, yang entah apa arti senyumannya itu.

"Ehm," Armin berdehem.

Eren menggeleng, "Tidak... Armin!"

Amin memiringkan kepalanya, "Hah?" tidak mengerti kenapa Eren malah meneriakinya dan justru memasang ekspresi takut.

Tak ada respon dari gadis itu membuat Eren curiga dan benar saja Mikasa memejamkan matanya tak sadarkan diri begitu Eren memaksa leher Mikasa untuk mendongak menatapnya, tubuh Mikasa hampir jatuh jika saja Eren tak cepat menangkapnya.

"Mikasa?!" pekik Eren dan Armin bersamaan.

.

.

.

Sejak saat di kelas hari itu, Eren sudah tidak ingat berapa kali Mikasa jatuh pingsan.

Ini sudah kesekian kalinya Mikasa jatuh pingsan tanpa sebab yang pasti. Tapi tentu saja faktor utama adalah karena jantungnya.

Armin menautkan sepuluh jarinya, terus berdo'a dan memohon pada tuhan agar sahabatnya itu tak mengalami yang lebih buruk dari ini. Pemuda iris biru langit itu terus memanjatkan permohonan dan mengharapkan sesuatu keajaiban terjadi. Keajaiban untuk sahabatnya, Mikasa.

Kondisi Mikasa semakin tak menentu, setiap dia sering pingsan tiba-tiba, semakin lemah pula jantungnya.

"Tidak bisa. Kita tidak bisa hanya diam saja." gumam Eren, matanya tiba-tiba menggelap dan tangannya mengepal kuat.

Merasakan aura yang tidak biasa dari orang yang duduk disampingnya, Armin menoleh, "Kau kenapa? Apa yang ingin kau lakukan?"

Eren memegangi kepalanya, mencengkram kuat rambutnya yang sedikit panjang itu. Matanya terpejam, "Aku harus menemui ayah." Ucapnya seraya meninggalkan Armin yang masih duduk di kursi depan ruangan.

Kedua mata Armin melebar, "Eren," panggil Armin, namun diacuhkan Eren yang terus berjalan menjauh.

"..."

Armin beranjak mengikuti langkah Eren di belakangnya, "Eren." panggil Armin sekali lagi dengan penekanan. Membuat pemuda yang dipanggil itu menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya.

Rahangnya mengeras, "Armin. Tak ada gunanya berada disini dan hanya menunggu." Ucap Eren tak kalah menekan.

"Memangnya untuk apa kau menemui ayahmu?" tanya Armin, alisnya menaut karena ia tak paham sikap Eren yang tiba-tiba marah.

All My Regrets (Eren X Mikasa) | EreMikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang