chapter 15 : dwell in sorrow

2 0 0
                                    

Gadis itu menutup buku pada pangkuannya dengan kedua jemari subtilnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gadis itu menutup buku pada pangkuannya dengan kedua jemari subtilnya. Surai cokelatnya tersibak ke belakang oleh deru angin tatkala ia menaikan pandangannya. Sekitar satu meter dari arah barat laut si gadis, berdiri seorang pemuda berwajah sayu yang tengah menyusupkan kedua kepalan tangannya pada saku mantel.

Wajahnya pucat, sangat pucat. Tidak dapat ditemukan setitik semangat hidup dari air wajah si pemuda. Kantung mata yang berkantung-kantung, bibir yang tawar, dan kulit wajah yang serupa juga kondisinya-sudah mirip mayat hidup. Kemudian, tubuhnya apalagi. Sangat kurus, seperti orang yang telah berpuasa selama berminggu-minggu.

Kemudian pemuda itu duduk tepat pada ujung sisi dari bangku taman yang sama didudukinya oleh si gadis.

"Aku merindukanmu." Suara si pria pun penuh kuyu. Suaranya hampir tak kentara bahkan untuk mengetuk indra pendengaran si gadis-walau jarak keduanya hanya berselisih beberapa senti-meter. Tetapi si gadis tak menghiraukan ucapan si pria sama sekali. Padahal si gadis juga ingin mengungkapkan hal yang sama untuk si pemuda, hanya saja keduluan oleh lawan bicaranya.

"Kau meninggalkanku?"

Tidak.

"Kau benar-benar tak merindukanku?"

Aku merindukanmu.

"Yooa.."

Maaf.

Si pemilik nama tidak menjawab-bahkan sama sekali tak bersuara. Kata-kata balasan dari si gadis hanya terucap dalam-dalam tanpa berhasil mencagun dalam bentuk bahana.

"Kau masih berada di sampingku, kan?" Pemuda itu menarik napasnya kasar, berusaha memberikan jeda dalam pelafalannya. "Jika kau masih berada disampingku, jangan menyalahkan dirimu ketika aku benar-benar menghilang."

Masih. Yooa masih membungkam. Sangat ingin ia berlari dan jatuh dalam dekapan si pemuda, menjawab setiap titikan lidahnya atau bahkan menciumnya dekat. Lamun seluruh indra tubuhnya mati rasa. Ia bahkan tak dapat mencecap lapisan tubuh luarnya yang tengah bergesek dengan deruan angin dingin di pagi hari.

Kemudian pemuda lesu itu berdiri, bersamaan dengan kepala si gadis yang berpendar. Yooa menyentuh tempurungnya-berusaha untuk menahan pergerakan kepalanya yang mulai berputar-putar tanpa arah. Baru ia sadari bahwa tubuhnya sekarang dapat bergerak sesukanya. Gadis itu lantas menjulurkan tangannya jauh, berusaha menggapai sebayang-bayang pemuda yang tengah bertapak membatu sembari presensinya menjauh dari pandangan sekilas.

Bukan. Bukan si pemuda yang menjauh. Tubuh Yooa yang tersedot entah kemana. Jarak pandangnya semakin lama semakin sempit, begitu juga jaraknya dengan si pemuda yang semakin lama semakin terasing.

"Wonwoo.." Itulah kalimat terakhir yang berhasil lolos dari bibir Yooa sedetik sebelum semuanya menjadi hitam legam. Sangat gelap dan sunyi.

Gadis itu menarik kelopak matanya. Buram. Dipejamkannya lagi, kemudian di tariknya kembali.

trauma | yjhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang