Wattpad Original
Ada 5 bab gratis lagi

BAB 1: Alovia Merpati

16.9K 1K 22
                                    


Alovia membereskan kertas yang berserakan di atas meja, mengumpulkannya menjadi satu, kemudian ditata pada tepi meja. Beberapa berkas lainnya ia taruh di sisi lainnya. Dia memasukkan komputer jinjingnya ke dalam ransel, begitu juga ponsel dan benda miliknya. Lalu, Alovia berpamitan dengan Rena, rekan kerjanya.

"Saya duluan, ya, Mbak," ucap Alovia.

Dengan angkuh Rena membalas, "Yoh. Mene ojok nelat maneh, lho."

Alovia mendesah. "Nggih, Mbak."

Rena tersenyum malas.

Alovia merogoh saku celananya, mengambil kunci motor. Lalu, perjalanan pulangnya dimulai. Perjalanan yang dibenci Alovia, tetapi dia harus melakukannya setiap hari. Kendaraan berlalu-lalang setiap sore, tentunya tak selancar bayangan orang-orang. Kemacetan Kota Surabaya kala sore hari bisa membuat orang uring-uringan, apalagi ketika musim hujan. Seharian bekerja, kemudian harus dihadapkan dengan kemacetan, bukanlah hal yang mudah.

Pekerjaan Alovia di bagian administrasi di sebuah notaris. Pekerjaan tersebut bukanlah pekerjaan yang sulit, tetapi lingkungan pekerjaan yang dihadapi Alovia sungguh di luar pikiran. Dia harus menghadapi atasannya yang suka marah-marah, belum lagi rekan kerjanya yang selalu sinis terhadap Alovia. Dalam pikiran Alovia, dia tak pernah mencari gara-gara dengan Rena, perempuan berusia 40 tahun yang sudah terlebih dahulu bekerja di sana. Tapi, Rena sama sekali tak bersahabat terhadap Alovia, mau sebaik apa pun Alovia bersikap.

Namun, seburuk apa pun perlakuan Rena terhadapnya, Alovia lebih menyukai berada di kantor daripada di rumah. Bagi sebagian orang, pulang adalah rumah. Ada orang-orang yang menunggu kedatangannya, bertemu dengan keluarga, makan masakan rumahan, istirahat dengan tenang. Sayang sekali, Alovia tidak termasuk di dalam sebagian orang itu. Alovia berada di belahan lainnya, yang tahu mana rumah baginya.

Alovia menurunkan satu kakinya, ketika kendaraan di depannya berhenti. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian melepaskannya. Dadanya bergemuruh, matanya menyipit menghalau debu yang beterbangan, meskipun hari sudah sore. Suara deru mobil dan motor tumpang tindih, ditambah klakson, percakapan samar sepasang kekasih di sebelahnya, menambah suasana ramai. Alovia tak pernah mempermasalahkan kebisingan ketika berangkat atau pulang kantor. Dia lebih memilih telinganya penuh degungan, daripada sunyi hingga dia bisa mendengarkan detak jantungnya sendiri.

Detak jantung.

Berkali-kali dalam hidupnya, dia mempertanyakan kepada Tuhan, kenapa detak jantungnya masih berjalan semestinya, ketika kehidupan Alovia tak berjalan dengan baik? Kenapa orang seperti Alovia dan ibunya dipertahankan oleh Tuhan, sedangkan orang baik seperti ayahnya dipanggil terlebih dahulu?

Kendaraan di depan Alovia bergerak, dia mulai menarik persneling untuk melajukan motornya. Telinganya mulai membentuk suara-suara yang setiap hari didengarkannya. Suara-suara yang tidak langsung menjadi bagian dalam hidupnya. Selama dua sembilan tahun hidup, Alovia sama sekali tidak menyangka bahwa pada akhirnya kehidupannya tak berjalan seperti yang dia harapkan. Satu pun keinginannya tak ada yang tercapai, termasuk keinginannya untuk menjadi penulis terkenal.

Cita-citanya lenyap begitu saja, ketika dia harus menerima kenyataan mengenai perceraian kedua orang tuanya.

Lebih tepatnya, perselingkuhan yang dilakukan oleh ibunya.

***

Perjalanan Alovia lebih cepat daripada ketika musim hujan tiba. Perumahan tempat dia tinggal merupakan perumahan yang tidak bebas banjir, terutama pada pintu utama masuk perumahan. Genangan air selalu saja memenuhi jalanan, ketika hujan lebat turun. Airnya akan lama bertahan di sana, tak kunjung surut. Ketika musim kemarau seperti ini, Alovia masih bebas berkendara, tanpa takut terjebak macet berjam-jam dengan keadaan celana beserta sepatunya basah. Apabila dia tak beruntung, maka motornya mogok.

Baru saja Alovia sampai di depan rumahnya, dia melihat Bu Suherman, pemilik kontrakan yang dia tempati sekarang. Ibu itu berdiri di depan rumahnya, sudah jelas menunggu kedatangan Alovia.

"Baru pulang kerja, Mbak?" tanya Bu Suherman. Bu Suherman memiliki tubuh berisi, kerudung yang dipakainya berwarna cokelat muda, bibirnya dipoles gincu merah darah. Beliau tanya basa basi dengan Alovia. Tentu, Alovia mengetahui alasan keberadaan Bu Suherman di depan rumahnya. Atau lebih tepatnya, rumah Bu Suherman yang disewa oleh Alovia.

"Nggih, Bu," jawab Alovia. Perempuan itu merogoh kantong tas ranselnya, mengambil kunci gerbang. Lalu, Alovia membuka pintu gerbang, menuntun motornya masuk ke teras rumah. "Monggo, Bu. Masuk." Alovia berkata kepada Bu Suherman sembari membuka helm yang dikenakannya.

Bu Suherman sesuai dengan permintaan Alovia, masuk ke teras, kemudian duduk di kursi yang terletak di dekat pintu. "Gimana kabarnya, Mbak?" tanya Bu Suherman, masih basa-basi. "Baik-baik saja, toh?"

"Baik, Bu," sahut Alovia. "Monggo di dalam saja, Bu?"

"Sudah, sini saja. Ibu tidak lama, kok."

Alovia tersenyum kecil. Dia menunggu. Menunggu Bu Suherman mengutarakan maksud kedatangannya ke sini.

"Mbak, sebulan lagi masa sewa rumah ini habis, toh?" Bu Suherman mulai berbicara. "Saya ke sini mau mengkonfirmasi saja. Mbak Via mau lanjut kontraknya atau tidak?" Alovia sudah menduga akan begini. Pada saatnya, Alovia harus meninggalkan rumah ini.

Alovia tinggal di rumah ini sudah hampir enam tahun. Sekitar enam tahun lalu, Alovia memutuskan untuk menyewa rumah untuk ditinggalinya bersama ayahnya. Rumah mereka terpaksa dijual oleh Alovia, sebab dia harus merawat ayahnya yang terkena stroke. Dengan gajinya sebagai pegawai, tidak mencukupi untuk pengobatan ayahnya, terlebih lagi ketika tak semua anggota tubuh ayahnya bisa digerakkan. Alovia harus menjaga ayahnya dan juga mempekerjakan pengasuh. Sebab, dia tak mungkin meninggalkan ayahnya seorang diri selama dia bekerja.

Memperpanjang masa kontrak bukanlah pilihan yang tepat. Tabungan Alovia belum mencukupi untuk hal itu. Ayahnya sudah tiada enam bulan lalu. Itu berarti dia sudah tak mempekerjakan orang dan sekarang, dia hanya perlu memikirkan diri sendiri. Tapi, dia masih memiliki utang yang belum bisa dilunasinya. Maka, sepertinya indekos adalah pilihan yang tepat.

Melepas kepergian ayahnya adalah hal terberat bagi Alovia, walaupun itu berarti bebannya lebih ringan. Tapi, kepergian ayahnya sama saja dengan artinya dia akan hidup sendiri. Tidak ada seseorang yang menunggunya di rumah, menanyakan kabarnya, tersenyum padanya dan Alovia tidak tahu dia bekerja mati-matian untuk siapa, selain untuk dirinya sendiri.

Alovia membasahi bibirnya, memejamkan mata sebentar, kemudian berkata kepada Bu Suherman, "Sepertinya tidak, Bu. Saya akan mencari indekos saja."

"Benar begitu, Mbak? Kalau memang iya, ibu mau cari penghuni baru."

"Iya, Bu. Sampai akhir bulan ini, saya masih di sini, ya, Bu. Saya butuh waktu untuk dapat indekos."

"Iya, Mbak." Bu Suherman beranjak dari kursi. "Mbak Via tidak punya kerabat lain?"

Alovia tidak menjawab, dia hanya tersenyum.

"Cepat menikah saja, Mbak. Biar ada temannya," saran Bu Suherman. Lagi-lagi, Alovia tidak menjawab. "Ya sudah, Ibu pamit dulu, ya."

Alovia mengangguk, mengikuti Bu Suherman dari belakang, kemudian menutup pintu gerbang ketika orang itu sudah pergi.

Alovia membalikkan tubuhnya, memandangi pekarangan rumahnya. Atap-atap terasnya terkelupas, ketika hujan ada beberapa bagian rumah yang bocor, tanaman yang ditanamnya ketika pindah pun mengering, beberapa lagi sudah mati. Alovia menarik napasnya dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya. Dia harus menghadapi ini sendirian, mau tak mau.

Tak pernah sedikit pun dalam benak Alovia mengenai bertemu dengan ibunya. Dia cukup tahu diri untuk tidak mengusik kehidupan ibunya saat ini. Sekalinya dia ke sana pun, ibunya belum tentu mau menyambut Alovia dengan baik. Baginya, Winna Lasri sudah menjadi orang lain, sejak perempuan itu memilih meninggalkan ayahnya.

Please Say Yes To My Husband [The Wattys Winner 2022]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang