Hermes

44 16 18
                                    

Ahhh..fuck
Ssshh..

Tempat yang gelap, penuh aroma tak sedap dimana-mana. Suara desahan yang menghujam telinga, membuat siapa saja akan terpancing untuk melakukannya.

"Bang, lu bawa gue ke tempat apaan?"

Hanya kalimat itulah yang selalu ditanyakan, sebenernya lu bawa gue ke tempat setan apaan? Pikir Hermes.

Lelaki yang ditanya hanya tersenyum, namun senyum itu bukanlah senyum biasa. Itu seringai. Seringai yang menakutkan. Perasaan Hermes tak tenang, pikirannya berkelana.

"Lu mau punya banyak temen bebas kayak gue, kan? Cukup diikutin, tanpa bacot" Hermes mengangguk, entah kesalahan apa yang ia buat ketika meminta itu kepada sepupunya. Jujur, Hermes tidak bisa tenang. Entahlah, ia merasa...jauh?

Ruangan tersembunyi.

Ada sebuah pintu yang tertutup rapat. Hermes mencoba untuk menelaah ruangan itu, apakah ini surga di balik neraka? Atau justru inilah tempat kematiannya?

CP

Dua huruf kapital yang tertulis dengan ukuran besar di pintu. Tanpa mengetuk, Hermes dan sepupunya itu masuk. Seperti hafal benar setiap sisinya, Hermes mengikuti langkah sepupunya. Entah terasa atau tidak, sedari tadi Hermes hanya berpegang pada sebuah tas yang tersampir di lengan sepupunya, takut kalau Hermes salah jalan.

"That's our place" Hermes terhenti, menatap sebuah ring yang penuh dengan darah.

Masih sama.

Gelap dan berbau. Bedanya, kali ini tempat itu berbau anyir. Bau darah segar.

Brak..

Pintu tertutup tiba-tiba, Hermes berlari ke arah pintu. Berusaha mencegah dua orang berbadan besar yang melarangnya keluar. Sebut saja Hermes pengecut, nyatanya siapapun yang berada di tempat itu pasti akan berpikir sama. Tempat ini adalah sarang iblis.

Bugh

Hermes dihajar oleh sepupunya, Hermes yang tidak siap pun harus terduduk di lantai. Tubuhnya tak seimbang. Kini tidak hanya bau anyir di penciumannya, tapi darah juga tengah ia cecap. Sudut bibir Hermes sobek, ia berdarah.

Sepupunya terduduk, menatap ke arah Hermes dengan sorot tajam yang tak bisa ia artikan. Hermes semakin kesakitan, kala sepupunya itu mencengkram dagu dan menekan pipinya "loe gak bisa keluar" kata-kata sepupunya itu selalu berputar di otaknya, mencari banyak arti di otaknya.

Ting..
Hermes menengok ke arah ring, salah satu pria ada yang tumbang di atas ring itu. Memang, saat Hermes masuk tadi, pertarungan sedang terjadi. Semacam tinju, namun lebih brutal.

Gila.

Satu kata itulah yang muncul di benak Hermes, wajah pria tumbang itu sudah tak berbentuk lagi. Pria itu digotong dengan tandu, sepertinya tubuh pria itu bahkan tidak bisa mengkoordinir pergerakan. Sialnya, kegilaan semakin berlangsung. Bisa-bisanya lelaki yang terkapar itu, justru saat ini sedang disentuh oleh seorang wanita jalang. Tidak, wanita itu glamour. Terlihat dari barang branded yang ia gunakan, tas bermerek, perhiasan emas dan pakaiannya yang Hermes tahu biayanya jutaan. Merek yang sama, yang selalu dipakai oleh ibu Hermes ketika ibunya masih hidup.

Shit. Hermes harus mengumpat sekarang. Di depan matanya sedang disuguhkan adegan dimana wanita itu mendesah, ia mengarahkan tangan pria terkapar itu ke tubuhnya. Menjijikkan.

Cengkeraman pada wajah Hermes dilepas, ia memandang wajah sepupunya dengan tatapan yang berkata. ~lu apain gue?~

Sepupunya tertawa. Entah kenapa seperti menyenangkan saja melihat wajah Hermes yang ia artikan sebagai ucapan minta tolong. "Tempat ini adalah kebebasan! Di tempat ini cuma ada kenikmatan" Cih. Kenikmatan apanya, justru kematianlah lebih tepatnya.

"Kalau lu menang, duitnya buat loe. Kalau loe kalah.." Sepupunya itu mendekat ke Hermes, menyejajarkan tubuhnya pada Hermes. Mendekatkan mulutnya ke telinga Hermes "jalang kaya raya disini bakal bayar mahal buat loe" Mata Hermes membulat, kerongkongannya tercekat. Jantungnya berpacu lebih cepat, rasa takut dan pertanyaan menyatu di otaknya.

"LU JUAL GUE, BANG?!" Teriak Hermes

Sepupunya tersenyum, layaknya iblis "kalau lu mau denger itu dari gue, mungkin bisa dibilang kayak gitu" senyum meremehkan itu, senyum yang selalu menghantui Hermes. Tak ada yang bisa menolong Hermes selain dirinya sendiri.

Hermes ditarik paksa, ia berusaha untuk melepaskan tangan tiga orang yang berusaha menyeretnya. Ia benci situasi ini, ia menyesal. Jika pada akhirnya ia juga harus dipaksa dan diseret seperti ini, maka tak ada bedanya tempat ini dengan rumahnya. Hermes hanya ingin kebebasan, tapi bukan yang seperti ini.

"BANG!!!" Hermes berteriak, semakin lama matanya tak bisa menangkap cahaya, bahkan sepupunya pun telah menghilang dari pandangannya. Gelap. Hermes benci gelap. Semakin lama suara Hermes tak terdengar, suaranya semakin hilang. Ia seakan tak di dengar dan tak terdengar. Hermes takut, jiwa lelakinya yang berani seakan luruh. Hermes melemah, hingga seseorang berteriak "HERMES!!"

-------------------------🌟🌟🌟---------------------

ARRRGGGHHH..

Hermes menarik nafasnya cepat, menetralkan detak jantungnya yang berpacu sangat cepat. Kejadian itu muncul lagi di bunga tidurnya. Hermes melirik ke sekitar, memastikan bahwa saat ini ia aman. Memastikan, bahwa kejadian barusan hanya ilusi dari mimpinya.

Hermes menghela nafasnya, membuang nafasnya kasar. Hermes memukul kepalanya dan mengacak rambutnya "mimpi lucknut" gumamnya. Hermes merasa kepalanya diserang migrain mendadak, pasti gara-gara tidurnya yang tak nyaman dan bangunnya yang tiba-tiba karena terkejut. Sial, jam pelajaran pertamanya adalah matematika.

Tunggu, sekolah?

Hermes melirik jam dindingnya. Matanya membulat kala melihat jam, 06.30 WIB. Hermes mengambil alarmnya. Bangsat, mati rupanya.

Hermes berlari ke kamar mandi, setengah jam waktunya untuk mengganti pakaian dan berangkat ke sekolah. ~kenapa Senin pakek upacara, sih?~ batinnya

10 menit kemudian..

Hanya 10 menit, Hermes telah siap dengan seragam dan segala perlengkapannya. Hermes mencari kunci motornya. Jarang sekali Hermes mau menggunakan motor, karena ia tak mau menjadi pusat perhatian. Hermes selalu ingin segala sesuatu dalam hidupnya tertutup rapat, toh juga demi keamanan orang lain. Hermes selalu menggunakan mobil miliknya untuk ke sekolah, namun kali ini otaknya masih jernih untuk berangkat lebih cepat ke sekolah hanya bisa dengan motornya.

Hermes menaiki motornya, memakai helm full face miliknya. Ponsel Hermes bergetar, padahal dia baru saja akan melajukan motornya. Sumpah, siapapun yang hubungin gua pagi-pagi, dia sampah.

Hermes mengecek ponselnya, sebuah chat dari pak Bedit.

Huft..
Hermes menghela nafasnya, memutar matanya. Bener, kan? Sampah.

Nanti siang ke CP, ambil duit kemenangan elu.

Hermes memasukkan ponselnya, menjalankan motornya. Nyatanya tempat iblis itu, telah menjadi rumah bagi Hermes. Kebencian Hermes, telah menjadi semangatnya sendiri.

Pada akhirnya, ia memang harus kembali dan berhadapan terus dengan iblis.

ATHESTORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang