Awal Masalah.

26 9 7
                                    

TAMBAHAN AWAL!

"Selamat pagi, tuan besar" pak Bagus menundukkan badannya.

Seorang pria berperawakan tinggi dan rahang yang tegas. Wibawanya bagaikan seorang dewa pemilik dunia, ketampanan yang tidak luntur walau termakan usia. Langkahnya yang tegap dan pasti menunjukkan bagaimana ia yang tak mudah digoyahkan. Kepribadiannya yang dingin dan logikanya yang cemerlang membuat siapapun tunduk padanya.

Lelaki itu melepas jas mahal berwarna coklat miliknya beserta kacamata hitam yang ia kenakan, memberikan jas dan kacamatanya kepada pak Bagus.
"Susun jadwal saya besok"

Pak Bagus mengangguk "bapak baru saja pulang dari luar negeri, ingin saya membuatkan kopi? Atau ada hal lain yang diinginkan?" Ucap pak Bagus ramah, namun tetap dengan sikap tegasnya.

"Kosongkan semua jadwal hari ini, saya mau istirahat"

Pak Bagus menunduk kembali "baik, pak"

Mata pria itu berkelana, menyusuri setiap sudut ruangan. Memandang ke segala arah, matanya naik dan turun, menyusuri dua lantai rumahnya "dimana putra-putra saya?"

Pak Bagus menundukkan kepalanya "biasanya tuan muda akan langsung kembali setelah pulang sekolah, jika sampai sore, pasti ada urusan lainnya. Ketika malam hari, tuan muda akan pergi bersama temannya dan pulang larut malam" pak Bagus mengadukannya panjang lebar, seakan menjelaskan kronologi yang terjadi selama tuan besarnya di luar negeri.

Pria itu memijat kerutan di keningnya, sedikit helaan nafas terdengar di sela-sela usapan keningnya "kosongkan jadwal saya besok malam, jangan biarkan dia pergi untuk besok malam. Ada yang ingin saya bicarakan"

"Baik, pak"

Pria itu berjalan menaiki tangga. Tubuhnya sangat lelah saat ini. Tangga demi tangga ia naiki, perlahan tapi pasti ia melangkah. Ia teringat, ada hal yang belum dijawab oleh bawahan kepercayaannya itu.
"Putraku ada dua, dimana yang satunya?"

Pak Bagus menampakkan smirknya, ia tertawa kecil dengan sinis "bukan putra kandungmu"

Pria itu menatap pak Bagus yang berada di lantai bawah, sorot matanya tajam. Dengan langkah cepat ia menuruni tangga, ia mendekati pak Bagus seakan menantangnya "bertahun-tahun ada di dekatku dan bekerja denganku, sikap aroganku sepertinya menular padamu" ucap pria itu sengaja menekan kata "bekerja" disana. Sengaja. Ia ingin menunjukkan posisi pak Bagus yang saat ini dengan menatapnya tak kalah tajam.

Pria itu masih dengan pandangan tajam dan menakutkannya "menjadi kepercayaan bukan berarti aku mengizinkan untuk kamu ikut campur di hidup aku" pria itu menunjuk wajah pak Bagus dengan sangat tajam, seakan jarinya itu adalah belati yang siap mencabik mata pak Bagus.

Pak Bagus merasa tersindir, ia merasa hina dipandang seperti itu. Walau nyatanya memang ia bawahan, tapi nyalinya sebagai lelaki tidak terima dikatakan seperti itu, apalagi pak Bagus tidak hanya bawahan, ia..

"AKU TEMANMU!!"

Mendengar teriakan pak Bagus justru membuat pria itu semakin tertawa keras, ia meremehkan jawaban pria itu. Cih, dia pikir apakah ia sepenting itu. "Ck..teman yaa?"

Pria itu menepuk pakaian hitam pak Bagus pada bagian bahunya, meniup bahu pak Bagus seakan debu bisa pria itu lihat "teman, tetap teman. Bukan berarti loe bisa ikut campur urusan pribadi" pria itu kembali pada kebiasaannya dulu, memanggil pak Bagus dengan loe-gue, tidak formal seperti sebelumnya.

Pak Bagus menghela nafas, berurusan dengan sahabat lamanya ini bukanlah hal yang baik. Tidak ada satu orang asing pun yang bisa meredakan amarahnya dengan mudah kecuali beberapa orang. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melakukannya. Mungkin pak Bagus termasuk dalam golongan itu, namun jika diadakan perangkingan antara orang-orang yang bisa menurunkan amarah sahabatnya itu, maka ia berada di ranking terbawah. Jelas peringkat pak Bagus jauh berada di atas anak-anak dari sahabatnya itu. Sayangnya, orang-orang yang berada di peringkat atas kini telah tiada. Ironis memang kehidupan sahabatnya itu, itulah yang membuat pak Bagus memilih untuk bertahan menjadi bawahan pria kelelahan di hadapannya "Seharusnya tanpa saya jawab, bapak tau jawaban saya" pak Bagus kembali pada sikapnya yang ramah dan sopan kepada atasannya, walau tatapannya masih dingin. Bermarahan terlalu lama bukanlah tipe kedua sahabat itu.

ATHESTORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang