28. Perlahan
Happy Reading!
🦋
🦋
🦋
PLAK!PLAK!
Tamparan demi tamparan terdengar menggema di ruangan luas dengan pencahayaan minim itu.
Sepuluh orang pria dengan kemeja yang sudah basah akan darah itu terikat lemas.
"MANUSIA-MANUSIA BODOH!" umpat Stefan, tak kuasa menahan amarah.
Kemeja yang dia kenakan pun sudah tak serapi tadi pagi. Bahkan dasinya tak berbentuk.
Sepuluh orang pria di sana hanya bisa merunduk takut. Tak mau melihat bos mereka yang sudah memegang tongkat base ball, siap memukul siapa pun.
"Satu orang. Cuma seorang bocah SMA tengik! Tapi kalian justru kalah, hah?!" amuknya lagi, tak habis pikir.
Baru saja tadi pagi Stefan merasa senang karena menang tender hingga akhirnya sore tadi di hubungi karena masalah urgen yang membuatnya mau tak mau harus mengurusi hal itu terlebih dahulu.
Siapa sangka di tengah perjalanan dia justru di hadang sang anak yang sudah terluka dimana-mana?
Lavin meneriaki, bahkan membentak. Menyuruhnya untuk segera turun.
"SIALAN!"
Stefan dengan kesal memukul kaca di sampingnya dengan tongkat bass ball. Ingat betul wajah Lavin yang merasa menang.
PRANG!
Tidak, dia tidak bisa diam terus membiarkan Lavin mengganggu pekerjaannya.
"Ini harus jadi yang terakhir kali, anak itu benar-benar sudah semakin berani!" geramnya, melempar tongkat di genggaman ke samping lalu berbalik ke luar ruangan di ikuti ajudan setianya dari belakang.
"Cari siapa orang yang udah berani kasih tahu keberadaan saya ke Lavin! Dia pasti informan anak itu!" perintahnya tegas.
Sang ajudan mengangguk sekali. "Perintah dilaksanakan tuan."
"Ah dan lagi," Stefan berhenti kala teringat tentang ancaman Lavin tempo hari. "Kasih saya data siapa dan berapa banyak anak buah kita yang mengawasi Lavin selama camping 2 minggu yang lalu. Dan apa saja yang terjadi di sana secara detail!"
Lagi, ajudan itu mengangguk. "Baik tuan."
Stefan segera berlalu pergi dari sana. Tak sadar sang ajudan di belakang hanya berdiam diri, memerhatikan.
***
"Sen, Seno!"
Keira berlari keluar kelas, mengejar Seno yang sepertinya akan menuju ruang guru. Sebenarnya Keira bisa saja menemui Seno istirahat nanti, tapi akhir-akhir ini Seno agak sulit ditemui karena sibuk organisasi, belum lagi ada Fani yang selalu ada di sisi laki-laki itu.
"Seno!" panggilnya lagi saat sudah dekat.
Seno dengan setumpuk buku ditangannya menoleh.
Keira berhenti dengan napas terengah. "Cepet amat jalannya!"
"Udah ditungguin guru soalnya. Kenapa, Ra?" cengir Seno, bertanya.
"Gue mau tanya sesuatu." Keira menatap Seno serius.
"Tanya apa?"
"Lo tahu nggak kenapa gue sama ayah dulu bisa kecelakaan?"
Seno terdiam. Sebelum terkekeh singkat. "Ya- karena takdir?"
KAMU SEDANG MEMBACA
VieRa (TAMAT)
Teen Fiction(BUDAYAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA) Awalnya, Keira hanya berniat membantu Seno- sang sepupu. Untuk menjadi pacar pura-puranya karena laki-laki itu ingin putus dengan kekasihnya yang toxic. Eh, bukannya berhasil malah nasib buruk yang menghampiri. K...