O3-secret

379 60 18
                                    

Ujung dari sepatu datar berwarna hitam itu beradu pelan dengan lantai marmer di sepanjang lorong. Menimbulkan suara gemeletuk kecil yang mengisi heningnya jajaran ruang di lantai dua bangunan itu. Masih pukul dua pagi. Tak seperti lantai dasar yang semakin malam justru semakin berisik, lantai dua yang berisi ruang pertemuan vip itu tentu jauh terasa lebih tenang.

Dengan satu nampan berisi beberapa piring ditangan, perempuan dengan pakaian cukup jauh dari kata longgar itu mencari satu pintu dengan nomor yang menjadi tujuannya.

Jangan tanya apa pekerjaannya. Tentu saja hanya sebagai pesuruh dengan upah yang tak seberapa. Somi tak punya pilihan selain menjadikan profesi sebagai pelayan bar itu sebagai pekerjaan paruh waktunya.

Bermula dari dirinya yang ditelantarkan orang tua, hingga harus bekerja untuk bisa memenuhi segala keperluan hidupnya. Somi jadi terpaksa harus berbohong pada Haechan perihal jam malam. Sengaja Somi mengatakannya hanya demi bisa menghindari Haechan yang sering memintanya bertemu di malam hari. Tidak mungkin kalau harus jujur. Haechan tidak tau menau tentang apapun. Somi takut Haechan malu, belum lagi kalau laki-laki itu sampai marah. Hubungan mereka bisa saja terancam dan Somi tidak mau.

Pintu kayu besar dihadapannya didorong terbuka setelah ia menemukan nomor yang sama seperti yang ada pada papan kecil di nampan.

Baru selangkah Somi bergerak setelah menutup kembali pintu itu, ponsel di sakunya bergetar panjang, membuat langkahnya kembali terhenti dan cekatan menarik benda pipih yang menjadi sumber getaran itu.

Sial, Haechan?

Angkat atau tidak? Sungguh ini menjadi pertimbangan yang cukup berat untuknya sekarang. Tapi, mengingat Haechan jarang sekali menghubunginya diwaktu sepagi ini belum lagi ada beberapa panggilan yang sempat terlewat sore tadi. Somi jadi berpikir tidak ada salahnya ia mengangkat sebentar. Sekedar mendengar suara Haechan, memastikan kekasihnya baik-baik saja, dan memberi janji kecil bahwa ia akan menghubunginya lagi setelah ini.

Masih dibalik pintu, Somi sedikit mundur, menyembunyikan tubuhnya dibalik tirai kecil yang membentang diantara pintu ruang temu dengan meja ditengah ruangan. Tidak enak kalau sampai dua orang yang kini tengah berbincang di sana sampai tau bahwa dirinya menyempatkan waktu untuk mengangkat telepon terlebih dahulu daripada langsung mengantar pesanan mereka. Kalau mereka baik mungkin tidak akan jadi masalah, tapi kalau sebaliknya? bisa hilang pekerjaan Somi.

"Sayangku." sapaan pertama Somi dengar saat ponselnya menempel ditelinga.

Reflek Somi tersenyum. Suaranya merdu. Jadi terbayang bagaimana senyum manis laki-laki itu disana.

"Haechan? Ada apa?"

"Rindu. Boleh?"

Ada rasa aneh yang membuncah kala mendengar sepenggal kata acak yang baru saja terucap. Sayang sekali mereka tidak bisa berbincang lebih lama untuk saat ini.

"Kenapa tidak dijawab?"

"Tentu saja boleh. Tapi-"

"Belum tidur? atau sudah bangun? Aku kira tidak akan diangkat."

Ah benar kan? Haechan sedang manja, kalau dilanjutkan ini pasti akan menjadi percakapan yang panjang. "Chan, kalau nanti aku telepon kamu lagi gimana?"

"Kenapa?"

"Aku..."

"Tunggu-- kamu dimana? Kenapa bicaranya bisik-bisik seperti itu?"

Somi menghela napas. Ia harus bersiap untuk beralibi dan kembali merangkai kebohongan baru untuk menutupi fakta yang terjadi.

"Ini jam tiga, aku tidak mungkin jawab telepon kamu sambil teriak kan? Nanti ayah ibu aku bangun."

"Ah, benar."

ARCANETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang