O5-a trap?

420 48 11
                                    

"Permisi, Nyonya Na."

Pintu besar kamar itu terbuka setelah sempat diketuk beberapa kali. Haera yang tengah termangu menatap keluar jendela akhirnya teralih, menemukan seorang wanita paruh baya di ambang pintu kamarnya.

Bibi Kim. Orang yang paling lama bekerja di rumah, orang yang selalu merawat Jeno sejak kecil, juga orang yang cukup disegani oleh Yuta itu kini tengah membawa satu nampan berisi menu makan malam dan segelas air putih ditangan.

"Aku bawakan sup untuk makan malam. Sejak tadi kau tidak keluar dari kamar." ucapnya seraya meletakkan nampan itu di nakas.

Haera geming menatap seluruh pergerakan bibi. Pun bibi yang kemudian sadar akan situasi kamar itu tanpa diperintah mulai membereskannya, dengan lihai memungut beberapa barang milik Haera yang berantakan. Haera yang sebelumnya mengacak semua itu.

Kepala Haera sakit. Terlepas tubuhnya yang memang tengah diserang demam hingga kepalanya terasa berdenyut tak karuan, pikiran Haera saat ini rasanya juga ikut bekerja diluar nalar. Kemelut delusi itu terus menggangu, memaksa Haera untuk melampiaskannya pada banyak hal diluar batas hingga menimbulkan kekacauan.

Haera mengurung diri, tak mau keluar kamar setelah Jeno mengistirahatkannya di ranjang siang tadi. Sayangnya, menyendirinya Lee Haera bukanlah suatu pertanda baik. Sejak sore, Jeno juga bibi sudah berulang kali mendengar banyak suara gaduh yang bisa dipastikan berasal dari ulah si nyonya rumah. Suara teriakan, tangisan, juga barang-barang jatuh bersahutan terlalu kencang, berlangsung cukup lama, hingga akhirnya kembali sunyi setelah Haera merasa lelah sendiri. Haera tak pernah separah ini jika memiliki obatnya. Setidaknya wanita itu akan sadar diri untuk cepat mengkonsumsi pil sebelum ia bertindak diluar kendali.

Kamar besar itu kini amat tak apik di pandang mata. Barang-barang si empunya berserakan dimana-mana, beberapa botol alkohol tergeletak -ada yang kosong ada yang terisi-, selimut tersibak, bahkan bantal yang seharusnya ada diatas ranjang kini berada di sudut ruangan. Semuanya tampak jauh lebih kacau dari biasanya. Termasuk sekarang, meski malam ini Haera sudah terbilang lebih tenang, wajah Haera masih cenderung tanpa ekspresi, sorot netranya kosong, dan dengan gontai berjalan menghampiri bibi yang masih telaten membereskan kekacauannya.

"Jeno.... sudah makan, bi?" lirih Haera ragu-ragu sembari mendudukan diri di tepi ranjang.

Bibi berhenti, menaruh benda terakhir yang ia pungut dilantai sebelum kemudian mengangguk dengan senyum hangat pada Haera. "Sudah nyonya, saat ini ia sedang pergi keluar."

Haera mengernyit. "Kemana?"

"Jeno bilang ingin membeli minuman hangat untukmu, stok di lemari sudah habis."

Bibir pucat itu samar-samar menunjukkan senyum. Tidak bohong, Haera terenyuh. Ia tidak tau lagi harus bersikap bagaimana dengan Jeno. Tentu saja Haera menyayanginya, tapi ia tidak pernah bisa menunjukkan afeksi itu.

Hingga saat ini, hanya dengan melihat wajah Jeno saja seringkali Haera langsung teringat akan masa lalu, tepatnya bertahun-tahun silam, di Kanada. Sungguh, kalau traumanya sendiri berada pada Jeno, lantas bagaimana caranya Haera berdamai dengan itu? Haera tidak tau.

"Aku terlalu kasar padanya siang ini." gumam Haera.

Bibi menghela napas. Sudah jadi yang kesekian kali bibi mendengar Haera berucap menyesal seperti ini. Haera selalu merasa bersalah setiap habis menyakiti perasaan Jeno diluar kendali. Amat berbeda dengan Jeno yang justru selalu bersikap seakan tidak terjadi apa-apa. Bibi sampai tidak tau lagi harus merespon bagaimana. Ia kasihan pada pada keduanya, terlebih Jeno. Sangking ibanya, bibi bahkan tidak tau terlalu pandai menyembunyikan kesedihan seperti yang Jeno lakukan termasuk dalam kelebihan atau justru kekurangan.

ARCANETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang