13-mission started

470 45 12
                                    

Mungkin seharusnya Renjun tanya dulu, bantuan macam apa yang akan Jeno butuhkan darinya. Renjun memang tidak sempat menerka-nerka, namun ia tidak menyangka kalimat pertama yang terdengar dari mulut Jeno langsung berhasil membuatnya geleng kepala.

"Kau memintaku menyewa kamar hotel?!" Renjun terperangah tak percaya.

"Bersama perempuan gila itu???" lontaran kalimat kedua yang disertai tunjukkan jari ke satu orang berhasil membuat permintaan Jeno semakin terdengar di luar nalar. "Kenapa harus aku— Ya Tuhan."

"Shuhua yang minta." ujar Ryujin. Jeno mengangguk.

Yang baru saja di sebut namanya hanya menunjukkan cengiran tanpa dosa, lalu melambaikan tangan pada Renjun.

"Hai, anak pungut!" sapanya riang. "Akhirnya kau masuk ke dalam kandang sapi ini. Bagaimana? Rasa penasaranmu sudah hilang?"

Renjun sibuk menggerutu dalam hati.

Memang benar apa katanya. Selepas Jeno mendatanginya sore kemarin tepat sebelum rapat himpunan dimulai, siang ini Renjun jadi harus ikut-ikutan bolos kuliah. Segala kepentingan kampus dan himpunan ia tinggalkan demi mengikuti Jeno yang ternyata membawanya ke dalam kedai kumuh itu.

Disana, Renjun berkenalan dengan beberapa orang yang sudah Jeno akui sebagai teman. Orang-orang itu berdiri di depannya sekarang. Ada Ryujin, yang paling terlihat ambisius. Chenle, yang paling semangat mengiyakan ucapan Ryujin. Giselle, yang paling masa bodoh. Dan tentu saja Shuhua, yang paling menjengkelkan.

"Tidak." Renjun tiba-tiba membuat keputusan sepihak. Berhasil mengejutkan Jeno ditempat. "Aku tidak mau."

"Ren?" Jeno mencoba mengintrupsi, diikuti sungutan murung di wajah Shuhua.

"Apa untungnya kalau aku melakukan itu? Apalagi berurusan dengan perempuan itu –Kau tau, itu hanya akan membuat tingkat stress ku sebagai remaja meningkat drastis!" Renjun sedikit menggebu, berusaha menghindari rayuan Jeno. "Lagipula aku bukan bagian dari kalian."

"Kau bisa." Ryujin dengan cepat menyahut, mematahkan argumen yang baru saja Renjun buat. "Kau bisa menjadi teman kami."

Chenle mengangguk. Anak laki-laki itu lalu berjalan mendekat, berdiri di sebelah kiri Renjun dengan tangan yang begitu ringan jatuh dipundaknya. "Dia benar."

Renjun berdecak. Sok akrab sekali, pikirnya.

"Tenang saja, kau tidak akan mengandalkan otot sebagai kekuatan utamamu, jadi tak perlu banyak sesi latihan seperti dia." ujar Chenle, sesaat melirik Jeno. "Bekerja pakai otak itu jauh lebih seru! Ayolah!"

Renjun tak langsung menjawab, ia diam dengan tatapan tajamnya yang mengarah lurus pada Jeno. Jeno kini hanya menatapnya dengan senyum tanpa dosa. Hafal sekali Renjun dengan gelagat Jeno yang satu ini. Jeno sedang berusaha membujuknya tanpa suara, memasang wajah yang akan membuat Renjun tidak tega untuk menolaknya. Dasar teman kurang ajar.

Ditengah diamnya Renjun, Giselle tiba-tiba berdecih. Diantara semuanya, bisa Renjun tangkap hanya perempuan itu yang sejak awal memasang wajah tidak suka. "Semudah itu? Disaat Jeno harus babak belur di hari pertama ia bergabung dengan kita, anak ini justru tidak mendapat apa-apa?"

Tak ada yang berani menjawab, bahkan Ryujin pun diam. Saat mereka berselisih paham, Ryujin tau dirinya tak akan menang jika diadu dengan argumen Giselle yang tak banyak basa-basi namun sering menyakiti hati.

"Jalur orang dalam, huh?" Giselle berucap remeh. "Setidaknya Paman Kim harus tau tentang dia, tak bisa sembarangan menerimanya seperti itu."

Renjun mendengus. Siapa juga yang berambisi untuk bekerja dengannya? Tidak ada. Renjun kira Jeno hanya meminta bantuan yang hanya melibatkan mereka berdua, makanya Renjun bersedia. Tidak tau saja kalau ternyata sekompleks ini.

ARCANETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang