Malam ini Jeno tidak pulang. Selain ingin membuktikan keseriusannya untuk bergabung dengan Ryujin, Jeno juga tau kalau rumahnya malam ini kosong.
Kemarin Bibi Kim memberitahunya bahwa Haera pergi ke rumah Taeil, bahkan seluruh pekerja dirumah itu dibolehkan pulang oleh sang Bunda. Pun akhirnya kemarin ia pulang ke rumah Renjun, toh ia sudah biasa mengingap di rumah teman satu-satunya itu.
Tapi untuk malam ini, Jeno memilih menetap di markas Ryujin. Mungkin besok pagi ia baru akan ke rumah Taeil untuk melihat keadaan bundanya.Canggung rasanya Jeno sekarang. Ini baru malam kedua. Jeno belum mengenal semuanya. Ia masih asing dengan gedung bertingkat tempatnya berada. Begitu pula dengan orang-orang yang mengisinya. Belum akrab, kecuali dengan Ryujin.
Jeno berada di lantai paling dasar. Tempat dimana kedai soju dan daging panggang itu beroperasi.
Sedikit cerita yang Jeno dapat dari Chenle di hari pertama ia datang kemarin, gedung empat tingkat yang berada di lokasi padat nan kumuh ini nyatanya bukan satu-satunya gedung yang dimiliki oleh ayah Ryujin. Masih ada beberapa yang lain, hanya saja Chenle tidak mengatakan dimana dan berfungsi sebagai apa.
Yang aktif mereka gunakan hanya yang ini. Gedung dengan lantai dasar dijadikan kedai dan tiga lantai diatasya menjadi basecamp.
Hanya bentuk kamuflase saja. Supaya terlihat menyatu dengan deretan gedung lainnya. Toh pengunjungnya kalau tidak para pengangguran, paling-paling pencuri amatiran. Semuanya dari kelas bawah, tak akan peduli dengan apapun kecuali bisa minum dengan harga miring.
Lonceng kecil penuh karat yang menggantung di pintu berdenting, ada pengunjung. Jeno mendongak, melihat orang yang baru saja masuk itu berjalan mendekat dan tanpa permisi menduduki kursi yang ada di depan mejanya.
Pakaiannya tertutup. Tudung jaketnya berfungsi di kepala, belum lagi penutup mulut yang menyembunyikan separuh wajahnya. Jeno tidak bisa mengenali siapa dia hanya dari manik mata saja.
"Kau tidak menuruti perintahku rupanya."
Jeno tertegun. Suara itu.
G?
Tudung jaket berwarna hijau tua itu kemudian di sibak ke belakang, memperlihatkan uraian surai legam tak terikat di baliknya. Benar. Jeno sudah yakin itu tepat ketika si perempuan membuka maskernya.
"Apa?"
Giselle menunjuk Jeno tepat di mata. "Kacamatamu."
Ah, Jeno mengerti.
"Aku membawanya, kontak lens kan?" Jeno lihai menarik tempat penyimpanan mini di saku jaket merah tuanya. "Tapi... aku tidak tau cara pakainya."
Sontak Giselle menahan tawa, memalingkan wajahnya ke samping selagi mencoba mengendalikan ekspresi. Entah kenapa baginya Jeno sedikit lucu. Caranya bicara, tatapan mata, dan semua semakin sempurna saat laki-laki itu menunjukkan eye smile-nya.
Giselle jadi ragu. Bagaimana caranya anak yang tampak tak pernah berbuat dosa ini melakoni rencana yang dibuatnya sendiri. Giselle tau itu dari Ryujin, walau tidak secara rinci, tapi mengetahui garis besarnya saja Giselle sudah tidak yakin.
"Temui aku di lantai tiga sepuluh menit lagi." terang Giselle. "Akan ku ajarkan cara pakai benda itu. Aku ingin bersih-bersih dulu."
Jeno berdeham. Giselle bangkit dari duduknya.
"Ji."
Langkah pertama Giselle terhenti. Sudut netranya melirik Jeno di kursi.
"Kau tau dimana Ryujin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ARCANE
Fanfic"Haera, lari..." "Tolong, biarkan dia pergi dari sini." [trilogi bagian kedua] ©-retrojae2020