Dengan tergesa Jaemin mendorong pintu kayu besar yang berdiri kokoh di sisi depan rumah megah itu.
Sesuai perkataannya pada Haechan siang tadi -Jaemin memutuskan untuk pulang, mencari Haera hanya sekedar untuk memastikan bundanya baik-baik saja.
Selepas menerima pesan anonim terakhir, batin Jaemin selalu merasa tidak tenang.
Ratu bergerak maju.
Jaemin tak pernah bisa melupakan itu, satu kalimat yang terus terngiang di kepala sampai berhasil membuatnya rela untuk datang sekarang.
Pun seraya terus menelusuri seisi rumah itu, hati kecil Jaemin tak pernah berhenti merapal doa tanpa sengaja. Kepanikannya semakin lama semakin terasa nyata kala ia sadar bahwa bangunan kokoh yang didominasi warna abu muda bercampur putih itu kini tampak sepi. Amat sepi, seperti tidak ada seorangpun di dalamnya.
Bahkan Jeno yang biasa menyambut saja malam ini tidak tampak batang hidungnya. Entah kemana anak itu malam-malam seperti ini. Aneh sekali karena tak biasanya Jeno pergi.
"Bunda." Jaemin mulai berseru, mencoba mengetuk pintu kamar di depannya.
Biasanya Haera selalu di dalam kamar jika tidak berada di taman belakang. Tapi sayangnya kali ini sama sekali tidak ada sahutan dari dalam.
"Bunda?"
Perlahan dengan disertai rasa waswas Jaemin akhirnya mencoba mendorong pintu. Tak terkunci.
Derit suara engsel pun sesekali terdengar. Netra Jaemin secara otomatis menelisik ke setiap sudut kamar begitu pintu terbuka sempurna.
Sial. Tidak ada. Kamar paling besar di rumah itu benar-benar kosong.
"Bunda!"
Suara Jaemin mulai meninggi. Kali ini rasa panik itu benar terasa nyata. Bundanya memang tidak ada di rumah.
"Sial sial sial." umpatnya.
Seluruh titik di lantai bawah sudah Jaemin hampiri, pun dengan lantai atas. Tak ada yang terlewat. Namun naasnya rumah ini ternyata tak diisi oleh siapapun. Bahkan para pekerja termasuk Bibi Kim juga tidak ada.
Kemana semua orang? Apa Haera sudah sempat memulangkan mereka semua? Jaemin jadi tidak tau harus bertanya pada siapa.
Pun tanpa membuang waktu, Jaemin dengan cepat menarik ponselnya dari saku. Ia harus menghubungi Bibi Kim, setidaknya untuk tau kapan Haera meninggalkan rumah dan untuk apa tujuannya.
Namun, baru saja ponsel itu keluar dari kantungnya, gerakan tangan Jaemin yang terlalu gegabah lantas berhasil membuat benda pipih itu melesat dari genggaman dan mendarat sempurna di lantai.
Jaemin sempat berdecak sebelum kemudian bergerak membungkuk, memungut ponselnya.
Tapi, belum sempat ia kembali meraih benda pipih itu, ada sesuatu yang janggal berhasil menarik perhatian.
Titik kecil berwarna merah, berasal dari benda yang entah untuk apa menempel di sisi bagian dalam kaki ranjang bundanya. Lampu itu tengah berkedip redup dengan tempo lambat.
Jaemin mengernyit, mendekat guna melihat lebih jelas.
Sialan. Penyadap suara.
"Brengsek." umpatan itu dengan reflek kembali mengudara. Siapa yang berani memasang benda seperti ini di kamar Bundanya.
Rahang Jaemin mengeras. Tatapan nyalang disertai dengusan yang sarat akan emosi itu tak bisa Jaemin sembunyikan.
Pun sebelum memutuskan pergi, dengan sigap Jaemin melepas benda itu dari tempat, diikuti gerakan tangan lain yang langsung memungut ponsel miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARCANE
Fanfiction"Haera, lari..." "Tolong, biarkan dia pergi dari sini." [trilogi bagian kedua] ©-retrojae2020