Jeanna berlari, mendorong pintu kaca besar yang pertama kali ia temui. Bangsal gawat darurat menjadi tujuan utamanya disana. Tempat yang katanya menampung beberapa korban luka akibat kebakaran apartmentnya, juga tempat yang ia harap ada Haechan didalamnya. Tak tau sudah berapa lama Jean mencari dan mencoba menghubungi laki-laki itu berulangkali.
Satu persatu ranjang yang dipisahkan oleh tirai itu Jean periksa. Memastikan Haechan menempati salah satunya. Baru saja Jean berdecak karena tak kunjung menemukan, tubuhnya mendadak berdiri kaku kala menangkap satu daksa yang tengah terbaring pada ranjang kedua dari ujung.
"Haechan." lirihnya.
Syukurlah, laki-laki itu ternyata disana. Masih tidak sadarkan diri dengan satu orang pria bertudung abu gelap yang duduk di kursi yang memang disediakan disamping ranjang.
Jean berjalan mendekat, sedikit kikuk. Sepertinya pria itu tidak sadar dengan eksistensinya. Pasalnya ia hanya terus memusatkan netranya untuk Haechan yang masih terlelap, sama sekali tak peduli sekitar.
"Permisi." tegur Jean akhirnya.
Pria itu sontak menoleh. Hanya sesaat, karena setelahnya ia kembali membuang muka dan mengambil masker hitamnya disaku, menutupi separuh wajahnya dengan benda itu.
Semakin kikuk Jeanna disana. Perempuan itu ingin menyapa, bertanya, atau bahkan sekedar mengucap terimakasih tapi kenapa lawan bicara yang ia asumsikan baru saja menolong Haechan itu bersikap dingin sekali. Senyum tidak, bersuara tidak, bahkan hanya menatapnya selama dua detik lalu buang muka dan kini langsung berdiri dari kursi.
"Terimakasih sudah menolong temanku--"
Belum selesai Jean berbicara, Haechan menggeliat tiba-tiba hingga merebut paksa atensi dua orang disana.
Dengan mata yang masih terpejam, celah sempit ranum laki-laki itu dengan lirih mengeluarkan suara. "Ayah..."
Jean tidak mendengarnya, tapi ia mendadak bingung saat pria yang tadinya berdiri di samping ranjang itu tiba-tiba saja melangkahkan kaki, terlihat terburu-buru pergi meninggalkan bangsal tanpa sepatah katapun.
Kedua alis Jean mengerut. Ia tak berusaha menahan, namun sorot matanya tanpa sengaja terus mengikuti pergerakan pria itu sampai tubuhnya menghilang dibalik pintu. Aneh sekali.
"Ayah..." Haechan kembali meracau dalam tidurnya, kali ini terdengar lebih jelas dari sebelumnya hingga berhasil membuat Jean yang masih terpaku reflek menoleh.
"Haechan --Haechan bangun."
"Ayah--"
"Ayah..."
Haechan masih terus mengucap hal yang sama seiring dengan Jean yang tak henti berusaha membangunkannya. Jean sama sekali tidak mengerti. Apa Haechan tengah memimpikan orang tuanya sampai terus mengigau seperti itu atau--
"Je..."
Jean mencelos lega. Sapaan lirih dari Haechan terdengar untuk namanya saat laki-laki itu akhirnya membuka mata sayu.
"Haechan, akhirnya..."
"Ayah mana?"
Tubuh Jean mematung. Ayah?
Baiklah, Jean memang tidak tau sejauh itu mengenai nama atau wajah ayah Haechan, namun ia tau kalau ayah laki-laki itu sudah...
"Jean, aku melihatnya."
Deru napas Haechan sedikit tak teratur saat ia beranjak duduk. Wajah lesu, bibir pucat, juga sorot netra yang terlihat begitu lelah itu bersirobok dengan Jeanna. Sayup-sayup menatap meminta reaksi.
Jean tentu bingung harus bersikap seperti apa. Tidak tau harus merespon dari mana. "Lebih baik kamu istirahat--"
"Jeanna-"
KAMU SEDANG MEMBACA
ARCANE
Fanfiction"Haera, lari..." "Tolong, biarkan dia pergi dari sini." [trilogi bagian kedua] ©-retrojae2020