Keempat remaja itu lari tunggang-langgang masuk ke dalam kereta, dengan peluh yang mengucur deras di masing-masing tubuhnya. Huft! Luapan rasa lega seketika membuncah dalam hati Bang Sat, Setan, Taeyang, juga Lucy kala sudah duduk di tempat masing-masing. Posisi duduk mereka kali ini hampir sama dengan kereta sebelumnya—tepat di tengah gerbong, dengan posisi yang saling bersilangan. Bedanya, Bang Sat sekarang berpasangan dengan Taeyang, sedang Lucy bersama Setan.
Beberapa menit berlalu. Kereta sudah siap untuk berangkat dan hanya menunggu hitungan singkat untuk mulai melaju di atas rel.
Taeyang yang tampak lelah, tanpa basa-basi langsung memperbaiki letak maskernya dan merapatkan kemeja polos yang melekat di tubuhnya. Menegakkan punggung pada sandaran kursi, lantas memilih untuk memejamkan sepasang kelopak matanya. Bang Sat terlihat ingin melakukan hal yang sama. Namun, entah mengapa tak sedikitpun rasa kantuk singgah pada dirinya.
15:42
Begitu yang tertampil pada jam tangan digital milik Bang Sat. Meski waktu sudah menandakan bahwa sore akan segera hadir, nyatanya sang surya sama sekali belum meredupkan sinarnya. Hawa masih panas, tak jauh berbeda dengan keadaan di siang bolong. “Mana haus, lagi,” keluh Bang Sat, seraya menelan ludahnya susah payah.
Sedikit demi sedikit, netra lelaki itu melirik pada botol air mineral yang tergeletak tepat di sebelah Taeyang. Sempat tebersit dalam pikiran Bang Sat untuk meraih minuman tersebut, dan melegakan dahaga yang menguasai lehernya. Namun, ia masih ragu. “Ambil ndak, ya?” gumamnya, berpikir. “Ah, mengko wae, lah.” Bang Sat membatalkan niatnya.
Fokus lelaki itu kemudian beralih pada dua gadis yang sedang ribut, di tempat duduk seberangnya. Si gadis berambut pirang, Lucy, tampak menundukkan kepalanya dalam-dalam, dengan jemari yang terus bergerak. Dari gestur tubuhnya, Lucy sepertinya sedang merajuk terhadap Setan.
Lantas di depan Lucy, Setan berusaha mati-matian untuk membuat Lucy mau berbicara dengannya. “Ayo, dong, Cy. Jangan marah begini, lah ....” Setan seperti frustasi, dilihat dari rambut hitamnya yang sudah teracak tak karuan. “Coba lo ngomong, gue salah apa. Kenapa tiba-tiba diam begini?”
Lucy tetap teguh untuk membungkam bibirnya. Dia bahkan enggan untuk membalas tatapan Setan yang terus mengarah ke arahnya dengan lamat.
“Lo mau minum?” Setan mengangkat botol air milik Lucy, tetapi hanya dibalas dengan gelengan. “Mau ke kamar mandi?” Lagi-lagi Lucy menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. “Terus mau apa, Lucy?” Setan menyerah. Punggungnya meluruh di kursi yang dia duduki. Capek juga membujuk bule satu itu.
“Petasan ....”
Sampai akhirnya, Lucy baru mau mengeluarkan suaranya, setelah lima menit berlalu. “You promised me, mau beliin petasan, Tantia,” lanjutnya dengan ekspresi sedih yang tak dibuat-buat.
Jawaban itu refleks membuat mulut Setan menganga. “L—lho? Tadi bukannya lo sendiri yang bilang ke gue, kalau nggak usah jadi beli?” protesnya, “sekarang kok malah nagih? Piye, toh.”
“Tantia! Promise, keep promise! Nggak boleh dilupain!” Lucy ingat, dirinya sendiri yang merelakan agar Setan tak usah jadi membelikannya petasan, tadi. Namun, saat dipikir-pikir kembali, mana mungkin dia bisa merelakan kesempatan untuk mendapat mainan gratis, dari Setan? “Ucapanku tadi only penenang supaya kamu not cry. Nah, because now you sudah tenang, ayo. Mana petasannya?”
“Dih!” Setan berseru tak terima, dengan mata yang melotot ke depan. “Gak ada! Ogah! Beli sendiri, sono,” sahut Setan tak peduli.
“Tantia! Pokoknya you must belikan aku petasan saat kita sudah sampai nanti, di sana!” kekeh Lucy.
KAMU SEDANG MEMBACA
WDT Academy Ramadhan [Lucifer Group]
RandomKepulangan bukan hanya sekadar "mari berangkat", "belilah tiket kereta", "siapkan bekal untuk perjalanan", atau "jam berapa kita harus sampai di peron?". Lebih dari itu, pulang terkadang adalah perjalanan panjang, meski jarak yang harus ditempuh seb...