18. Permainan di Mulai

61 2 0
                                    

Widya celingukan mencari seseorang. Hampir 10 menit yang lalu seseorang mengajaknya untuk bertemu di taman, tapi sampai sekarang orang tersebut belum datang. Tak lama dari kejauhan terlihat siluet seseorang tengah berlari ke arahnya.

"Ma-maaf gu-gue telat." Rizan datang dengan nafas ngos-ngosan.

"Gak papa, lo duduk dulu, atur dulu nafas lo."

Setelah mengatur nafasnya Rizan mulai bicara.

"Jadi sebenernya gue ngajak lo kesini, karena ada hal yang harus gue omongin ke lo." Rizan membuka percakapan.

"Apa? Kenapa gak di sana aja atau di chat?"

"Karena-" ucapan Rizan terpotong karena telepon genggamnya berbunyi.

Hadid: zan lo bisa ke aula gak? Gue kewalahan plus gak ada temen:(

Rizan melihat pesan yang Hadid kirimkan. Ia menghela nafas, padahal baru saja ia akan menyatakan perasaannya, tapi Hadid memintanya untuk ke aula. Jika tak kesana Hadid pasti akan terus menghubunginya.

"Eh nanti aja deh pas beres acara kita obrolin lagi, Hadid udah nyuruh gue ke aula. Kalo gak disamperin tuh anak pasti bakal ngehubungin gue terus." Ucap Rizan menggaruk tekuknya.

"Ya udah gak papa, lagian lo juga lagi jadi penanggung jawab, bisa-bisanya lo disini sama gue."

"Maaf ya, gue udah bikin lo kesini terus nunggu lama juga, tapi gak jadi."

"Iya gak papa, ya udah yuk ke aula." Ajak Widya.


BUKKK!!!


Saat Widya balik badan, ia dikagetkan dengan suara keras yang berasal dari belakang punggungnya. Perasaan Widya jadi tak enak, dan saat ia berbalik badan, Rizan sudah tergeletak di tanah dengan darah mengalir dari kepalanya. Widya panik. Ia berusaha mengejar orang itu tapi gagal, orang tersebut terlalu cepat.

"Lo gak papa zan? Kepala lo berdarah!" Widya makin panik melihat darah itu.

Rizan tidak menjawab Widya, pandangannya kabur dan perlahan gelap menguasai penglihatannya.

***

Rizan tiba-tiba pingsan. Widya makin panik, ia mencoba menelepon kakaknya tapi nihil, Esa tak menjawab teleponnya.

"TOLONG!! TOLONG DISINI ADA YANG PINGSAN!" Widya berteriak sebisanya. Rizan belum sadar juga dan pendarahannya tak berhenti.

Mendengar teriak Widya, para panitia yang di berada di dekat mereka mendekatinya sambil membawa tandu. Rizan di bawa ke UKS untuk mendapat perawatan, dan Widya mengikuti mereka.

Bahkan setelah para petugas UKS membalut luka di kepalanya, Rizan belum juga sadar.

"Widya!!" Esa berteriak masuk.

"Sa lo disini. Gimana ini sa, Rizan belum sadar juga."

"Tenang-tenang, bentar lagi pasti sadar." Jawab Esa meyakinkan.

Ucapan Esa terbukti. Rizan perlahan membuka matanya.

"Zan! Lo gak papa?" Tanya Widya.

"Gue gak papa wid, maaf pasti tadi lo kaget."

"Gue baik baik aja, syukur deh kalo lo udah sadar. Tau gak sih, lo pingsan udah lama banget, sampe hampir kita bawa ke rumah sakit." Jawab Widya.

Rizan hanya tersenyum melihat kelakuan Widya yang menurutnya sangat lucu dengan mengomel seperti itu. Ah~ apa mungkin ini efek samping dari jatuh cinta? Hanya melihatnya saja sudah membuat ia lupa bahwa baru saja ia hampir tak bisa bangun lagi.

"Zan, gue udah urus semuanya. Acara ini gue, Hadid, sama waketos yang bakal ambil alih. Lo disini aja, pulihin dulu diri lo, jangan pernah mikirin acara bakal gimana." Esa mulai mengomel.

"Iya deh iya, thank's ya sa."

"Sama-sama, ya udah gue balik ke aula dulu. Jagain dulu Rizan ya wid, oh ya kalau lo laper makan aja, awas aja kalau pas beres ini acara lo kambuh." Widya akhirnya kena omelan Esa juga, dia heran kenapa sih kakaknya satu ini selalu seperti itu. Tapi itu artinya Esa sayang dengannya, dan itu bisa diterima.

"Iya iya, ya udah sana, nanti ke sini lagi." Balas Widya.

"Pastilah. Oke bye-bye."

Esa pergi ke aula, dan entah kenapa atmosfer diruangan itu jadi sedikit agak canggung.

"Oh ya zan, tadi pas di taman katanya lo mau omongin sesuatu sama gue, tentang apa?" Widya berusaha memecahkan keheningan, yang ternyata justru makin membuat lebih canggung.

"Eh i-itu ... Gimana ya bilangnya-"

Melihat Rizan tampak kesulitan menjawab, akhirnya Widya berhenti bertanya dan ruangan itu kembali hening.

***

Acara hampir berjalan setengahnya, dan di berhentikan karena adzan dzuhur. Esa dan Hadid segera berlari ke UKS setelah shalat dzuhur. Terlihat Widya masih setia menemani Rizan, dan Esa cukup khawatir karena hal itu, karena pasti Widya belum makan apapun.

"Wid, lo shalat dzuhur dulu sana, sekalian makan dulu. Tadi gue liat temen-temen lo ada di masjid, mereka nungguin lo." Ujar Esa sesampainya di UKS.

"Ya udah gue pergi dulu, nanti gue ke sini lagi."

"Iya."

Ternyata ucapan Esa terbukti benar, di kejauhan Widya melihat teman-temannya tengah menunggunya. Melihat Widya berjalan kearah mereka, Yanti melambaikan tangannya pertanda agar Widya segera mendekat.

"Kita denger kak Rizan dibawa ke UKS, dia gimana sekarang?" Tanya Salma saat Widya mendekati mereka.

"Dia udah baik-baik aja, kayaknya dia juga mau mantau acaranya lagi."

"Syukur deh, gue kira lo yang terluka wid. Kak Rizan bisa gitu gimana ceritanya?" Sekarang Yanti yang bertanya.

"Jadi tadi tuh gue lagi obrolin something sama Rizan. Nah pas gue balik badan mau balik ke aula, tiba-tiba Rizan di pukul kepalanya pake benda tumpul karena di pinggir Rizan ada kayu berdarah gitu, dan gue juga sempet ngejar orangnya tapi gue ketinggalan karena dia cepet banget."

"Lo tau ciri-ciri orang yang mukul Rizan?" Tanya Fira.

"Gue gak liat mukanya karena dia pake masker, dia juga lebih tinggi dari gue, berponi, dan gue yakin dia cowok." Jawab Widya (lagi).

"Oh iya, gue sempet liat sepatu yang dia pake, dia pake sepatu olahraga warna putih tapi udah agak ke kuning-kuningan dan gue kayak pernah liat tuh sepatu, tapi gue lupa dimana." Sambungnya.

"Astaga, ya udah lo shalat dulu sana, kita tunggu disini." Raisa yang sedari tadi hanya nyimak akhirnya angkat bicara.

Sementara itu di lain tempat ...

"Ini baru permulaan, untuk selanjutnya jangan salahkan aku jika lebih kejam." Ucap orang misterius itu.

Jika Widya ada di dekatnya, pasti ia mengenalnya, karena dialah yang Widya kejar tadi.


****

Ide lagi ngalir banget astaga, walau pun ya timbul tenggelam😭
Jangan lupa vote ya, terima kasihh 🙌

Kenapa Harus Dia?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang