PROLOG

20 3 0
                                    

🌤️🌤️🌤️🌤️

Damar dengan setengah hati melangkah menaiki anak tangga menuju kosannya yang berada di lantai dua. Sebuah ruangan minimalis dengan ukuran 3×3 adalah ukuran kamar standar untuk sebuah kamar kos.

    Hakam yang merupakan teman satu kost berjalan mengekor di belakangnya, lalu segera menutup pintu dan bersandar di balik pintu itu dia berdiri tegak sambil menghadap ke arah Damar dengan melipat kedua lengannya di dada.

    Meski kamar kosnya tidak begitu besar, mereka bisa membuat kamar tersebut menjadi lebih nyaman dan terlihat estetik. Hakam menggelengkan kepala sekaligus menaruh iba pada Damar, dia hanya bisa meratapi nasib asmara kawannya yang sedang bertepuk sebelah tangan.

    Hakam tahu sekali teman satu kamarnya itu sedang tidak baik-baik saja. Masih dengan mengenakan pakaian batik, mereka baru saja pulang dari menghadiri sebuah acara undangan pernikahan seseorang yang sangat berarti bagi Damar.

    "Kau juga yang salah, kenapa tidak berterus terang saja dari awal, kalau kau mencintai Lintang?" Hakam membuka percakapan sambil memperhatikan temannya satu itu.

    Damar diam sesaat merebahkan tubuhnya diatas bad cover empuk, dengan pakaian batik yang masih melekat ditubuhnya. Kedua lengan dia lipat ke belakang, dijadikannya sebagai tumpuan alas untuk bantal kepala. Netranya kosong memandangi atap plafon gypsum putih bersih.

    "Tidak semudah itu, kau pikir mudah mengutarakan perasaan pada seseorang yang kita suka?"

Hakam membuang napas,
    "Kau sendiri yang membuatnya menjadi tidak mudah. Kau lebih memilih mencintai dia dalam diam. Tanpa ada keberanian untuk menyatakan langsung kepadanya."

    "Itu karena aku bukan dirimu." ucap Damar masih dengan tatapan lurus ke atas memandangi langit-langit plafon. Hakam mengernyitkan dahi, mencerna ucapan Damar barusan.

    "Memang apa bedanya aku denganmu?" tanya Hakam bingung. Kini kedua lengan berpindah posisi masuk ke dalam saku celana jeans-nya.

    "Aku tak sepandai dirimu yang dengan mudahnya mengungkapkan perasaan ke setiap wanita yang kau sukai, tanpa memikirkan konsekuensi apa yang akan terjadi nantinya. Aku juga ingin meminimalisir rasa kekecewaan, aku tidak mau mengecewakan perasaan ku lebih dalam terhadapnya."

    Hakam yang sejak tadi berdiri terus di belakang pintu kini berpindah tempat, berjalan lurus melangkah di atas berlantai parket mengarah pada kursi kosong yang ada di hadapannya. Kemudian berpindah posisi duduk disana mengamati Damar yang sedang tidur diatas dipan pendek yang bawahnya diberi alas karpet kasur diatasnya.

    "Itu yang dinamakan konsekuensi Dam, kau harus terima apapun resikonya. Dalam hidup, kita hanya mempunyai dua pilihan. Pilih salah satunya dan hadapi resikonya. Saat kau bermain dengan hati kau juga harus siap untuk kemungkinan yang akan terjadi.

    Lantas, apa dengan seperti ini lalu membuatmu terbebas dari rasa kekecewaan itu? justru malah sebaliknya, rasa sakit itu semakin menguat, seiring kau melihat Lintang dipersunting oleh orang lain! Sementara kau masih memendam perasaan terhadapnya.

    Asal kau tau Dam, rasa kekecewaan itu akan selalu ada dan berdampingan dengan segumpal harapan-harapan yang kita buat, dan hal itu akan selalu hadir selama kita masih bernapas di muka bumi ini. Dan kau tidak bisa menghindari itu."

    Damar bangkit dari tidurnya, dan duduk menatap Hakam lekat yang sejak tadi memandanginya serius.

    "Sudahlah, Kam. Aku sudah ikhlas atas semua perasaanku ini. Mau sehebat apapun aku mempertahankannya, tidak akan pernah bisa aku mengubah takdirNya. Karena segala ketetapan yang sudah Tuhan tuliskan. Mungkin ini adalah sebuah jawaban yang sudah Tuhan berikan untuk diriku, aku mencoba pasrah untuk mengikhlaskannya. Aku ikhlas melepas Lintang dari kehidupan ku."

MELEPAS SENJA [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang