BAB 6

67 1 0
                                    

Sepulang dari toko buku Ayana belum turun dari kamarnya. Tadi ia sempat mengirimkan pesan teks ke Rena agar kedua temannya tadi tidak bingung mencari Ayana. Setelah itu Ayana berbersih diri dan kemudian ia hanya duduk di meja belajarnya dari jam 5 sore sampai kini. Padahal ia berniat belajar agar pikirannya teralihkan, namun justru sebaliknya semakin ia menghindar justru bayangan tersebut semakin jelas, perasaannya bercampur aduk antara takut, marah, kecewa atau bahkan senang ia tak tahu. Ia tidak bisa membedakan semua emosi tersebut. Untuk menyegarkan pikiran Ayana pun memutuskan bersembahyang, agar perasaannya jauh lebih tenang. Setelah bersembahyang ia menuju balkon kamarnya, ia berdiri menatap langit yang sudah gelap. Ia memutuskan untuk berdiam disana agar pikirannya jernih. Suasana malam seperti ini yang disukai Ayana. Sepi.

Ayana hanyut dalam lamunannya sampai tidak sadar jika seorang pria paruh baya datang dan duduk disampingnya.
"ehemm, masa papanya datang ga dianggap ini"

"Papa...kapan pulang pa" tanya Ayana.

"Baru tadi, ngapain kamu disini udah malam kenapa masih belum ditutup ini balkonnya."

"Ayana cari angin aja pah, biar fresh gitu kalau belajar jadi lebih fokus hehehehe" alibi Ayana.

"Bener? Bukan karena lagi ada masalah?"

"I..yaa...memang masalah apa" jawab Ayana dengan terkekeh.

"Ya papa gatau"

"Pah lihat pah, bulannya cantik, satu penuh" tunjuk Ayana pada bulan yang bertengger di langit malam.

"Iya... cantik, tapi kasihan"

"Kenapa kasihan Pah?"

"Bulannya sendiri ngga ditemani bintang, kayak anak papa yang cantik ini, jomblo...hahahahaha"

"Apaan si Pah, nggak lucu"

"Bulan itu hebat dek, meskipun dia sendiri diatas sana tapi ia tetap bersinar terang"

"Tapi Pah sebenarnya bulan ndak sendiri, bintang sebenernya ada selalu disana tapi terkadang kehadiran bintang tidak terlihat, bulan sebenernya lemah Pah, sinarnya aja itu dibantu oleh matahari" ucap Ayana.

"Udah ini kenapa kita malah ngebanding bandingin bulan, bintang dan matahari. Apapun mereka, mereka hebat. Karena mereka ciptaan Tuhan. Udah yuk turun, ditungguin mama buat makan malam, papa tunggu dibawah ya" ucap Aditya Bagaskara, papa Ayana dengan mengusap pucuk kepala Ayana. Sungguh hangat bagi Ayana. Laki-laki di dunia ini yang selalu memberi kehangatan dan ketenagan bagi Ayana adalah Papanya dan yang kedua kakaknya. Keduanya tidak akan pernah menyakiti Ayana. Ayana yakin hal itu.

Meja makan malam ini terisi lengkap, biasanya hanya terisi oleh Ayana, Aditya, Mira atau Ayana, Abian dan Mira. Kedua pria di rumah ini memang sangat sibuk jadi terkadang tidak sempat untuk makan dirumah.

Makan malam kali ini berjalan cukup khidmad tidak ada pembicaraan hingga makan malam selesai.
"Dek bantuin mama beberes yaa" pinta Amira, mama Ayana kepada Ayana.

"Iya Mah" Ayana dan Mira meninggalkan meja makan yang hanya tersisa dua orang.

"Koas kamu gimana bang" tanya Aditya ke anak laki-laki satunya.

"Lumayan Pah...lumayan capek fisik dan mental"

"Baru awal itu, belom nanti kalo kamu dilantik jadi dokter beneran"

SIMPANG RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang