Di sudut ruangan itu, gadis kecil meringkuk ketakutan. Teriakan dan bentakan memenjarakan gendang telinganya tanpa pengampunan. Dia sudah berusaha merapatkan pelukan atas dirinya sendiri, tapi yang ada justru rasa takut melilit tiada henti. Sesekali matanya terbuka untuk mengintip.Di depan sana, dua orang tuanya tengah menumpahkan jutaan aksara yang sama sekali tak pantas didengarnya.
Setelah peperangan panjang terjadi, gadis kecil itu tak tahu apa-apa selain mamanya yang memilih pergi. Dia berusaha membujuk sang mama menggunakan air mata, tapi perempuan itu sudah mantap untuk mengemasi barang-barangnya. Bahkan, tak ada peluk, salam, atau apa pun yang diberikan sang mama sebagai hadiah perpisahan.
"Mama mau ke mana, Pa? Kenapa dia pergi dan bawa tas gede banget? Mama nanti pasti pulang, kan? Aku mau tidur di ruang tamu aja nunggu mama pulang...."
Gadis kecil itu mengguncang lengan papanya dengan kasar. Air matanya mengalir sederas hujan di malam pekat. Dingin dan gelap.Namun, sederet pertanyaan itu hanya dibiarkan mengambang tak terjawab. Papanya tak pernah mampu memberi jawaban yang lebih indah dari sebuah pelukan.
Hari-hari berlalu dan kehidupan mereka tak pernah sama lagi. Gadis kecil itu selalu bertanya perihal kepergian sang mama, padahal di hari-hari yang telah lalu cinta kedua orang tuanya terikat sempurna.
Ingin rasanya berhenti memercayai segala hal indah tentang cinta. Hanya saja, ia tak pernah mampu menolak alur semesta yang akan mengantarnya menuju cinta-cinta baru di hari selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE LETTER
Teen Fiction"Apa kelak aku bisa mencinta, jika pikiranku selalu curiga tentang luka yang akan menimpa? Akankah datang sebuah nama untuk menghuni hati, jika aku selalu mengkhawatirkan pengkhianatan yang mungkin terjadi? Dan, apa aku bisa menulis surat cinta, jik...