Chapter 6

21 4 9
                                    

Bel istirahat berbunyi nyaring. Para siswa berebut meninggalkan ruang kelas untuk merayakan setengah jam berharganya. Prilly dan Tiara berjalan dengan langkah kaki seirama. Mereka hendak bertandang ke kantin untuk mengisi perutnya. Namun, langkah mereka terhenti di koridor saat menyaksikan mading yang dikerumuni para siswa.
Ketika suasana sudah agak longgar, Tiara segera menarik tangan Prilly untuk mendekat ke papan mading dan menaruh mata. Tampak sebuah brosur berisi informasi kegiatan yang akan diadakan.

"Lo kemarin daftar jadi vokalis, kan?" Tiara bertanya penuh antusias saat tubuh Prilly tiba-tiba membatu. Brosur tersebut berisi informasi tentang kegiatan konser untuk memilih siapa yang akan menjadi vokalis band sekolah.

Satu detik, dua detik, tiga detik, Prilly hanya diam. Hatinya teraduk-aduk seperti badai. Ingatannya meloncat-loncat pada hari di mana ia dan Axel selalu menghabiskan waktu untuk bernyanyi bersama seolah tak ada yang lebih indah dari suara mereka.

"Lo kenapa, sih? Ditanya kok malah diem kayak patung."

Prilly tak menjawab sepatah kata pun. Dia langsung balik kanan dan mengambil langkah untuk membuat jarak sepanjang-panjangnya dari papan mading.
Tiara diam di tempat sambil bertanya-tanya. Keningnya berkerut tanpa aturan. Pandangannya berpindah-pindah dari brosur ke punggung Prilly yang semakin menjauh.

***
Sepulang sekolah, Prilly memboyong Tiara ke rumahnya. Gadis itu menangis terisak di kamar untuk pertama kalinya setelah sang mama pergi meninggalkannya.

"Ya ampun, Pril! Lo jangan terlalu jadi bucin gini, dong." Tiara berdiri di depan rak buku sambil berkata dengan malas. Dia mengamati buku-buku milik Prilly yang tertata di sana. 

"Gue nggak tau kenapa jadinya kayak gini, Ra. Hati gue sakit banget. Axel mendadak cuekin gue seolah kami nggak pernah kenal. Sementara papa juga mendadak nyuruh gue jauhin dia." Di sudut ranjangnya, ucapan Prilly tersenggal-senggal. Dia hampir menghabiskan satu gulung tissue untuk mengusap air matanya. Di saat seperti ini, dia menyesal sebab telah durhaka pada logika. Dari kisah papa dan mamanya, ia sudah tahu dengan jelas bahwa cinta adalah sumber utama dari segala lara. Hatinya selalu mengambang dan bimbang setiap mengingat luka. Tapi, ia malah bermain-main dan kini rasa itu benar-benar memporak-porandakan hatinya. 

Tiara membasahi bibirnya. Dia memutar tubuh ke arah Prilly. Tangannya batal mengambil buku sebab merasa tak nyaman menyimak tangisan gadis itu. Kakinya mulai berayun dan memperpendek jaraknya dari lantai tempat tissue bekas tangisan Prilly berserakan.

"Gue rasa, cueknya Axel dan perintah dari papa lo ada hubungannya. Lo harus selidiki ini, Pril."

Prilly mengangkat wajahnya. Dia memandang Tiara yang kini berdiri dengan jarak satu meter di hadapannya. "Maksud lo?"

Gadis berambut cepak itu menaikkan kedua bahunya. Matanya menyorot lurus pada manik Prilly yang terlihat seperti kaca.

"Ya, maksud gue, lo nggak boleh nangis terus karena nangis nggak bakal selesaiin semuanya. Lo harus nyelidiki ini biar tau apa penyebab Axel cuek dan papa lo yang mendadak nyuruh lo jauhin dia."

Prilly diam dan menyalin kalimat Tiara dalam kepala.

***
Hari Minggu itu, Prilly mengajak Tiara jalan-jalan ke mall. Sejauh masa pertemanan mereka, belum pernah ada tempat spesial yang dikunjungi. Selama ini hanya berputar-putar di kantin, perpustakaan, serta warung seberang sekolah.

"Emangnya lo mau beli apa?" tanya Tiara saat menjemput Prilly. Matahari bersinar hangat. Langit cerah tanpa gulungan awan. Biru sejauh mata memandang. Mereka akan pergi berdua menaiki motor Tiara.

"Mau jalan-jalan aja biar pikiran lebih seger. Besok kan Bu Dinda maungadain konser buat nentuin siapa yang paling layak jadi vokalis band sekolah. Gue nggak mau gara-gara pikiran suntuk, nanti nyanyi gue jadi nggak bagus," jawab Prilly sembari memasang helm di kepalanya. Kemudian, dia bersiap naik ke jok belakang motor temannya.

LOVE LETTER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang