Chapter 3

38 8 7
                                    

Prilly menyibak gorden kamarnya dengan hati-hati. Langit terlihat pucat malam ini. Rembulan bersembunyi di balik cadar awan-awan. Bintang-gemintang seperti enggan memancarkan sinar.
Dengan mata yang ditajamkan, gadis itu berusaha mengawasi rumah yang berdiri kukuh di seberang jalan. Ia memperhatikan atap yang berbentuk segitiga, mengamati dinding yang bercat putih bersih, menghitung jumlah tiang, hingga mengabsen beberapa buah pucuk merah yang daunnya bergoyang-goyang terbelai angin malam.

Prilly mengerutkan kening saat menyadari bahwa kondisi rumah tersebut memiliki lampu yang gelap seperti rumah hantu. Matanya tak menangkap satu pun aktivitas di sana. Pintu dan jendelanya ditutup rapat-rapat seolah khawatir maling akan masuk. Batinnya merenda tanya, sebenarnya rumah itu berpenghuni atau tidak?

Prilly membatin sambil bergidik ngeri. Dia membayangkan kalau ternyata Axel adalah hantu yang menjelma menjadi manusia untuk melancarkan misi tebar pesona kepada sebanyak-banyaknya wanita.

Dengan gerakan cepat, Prilly menutup lagi gorden kamarnya. Dia beringsut dari depan jendela, kemudian membantingkan tubuh di atas pembaringan. Buku-buku sekolah untuk hari esok sudah disiapkan. Dan, jaket itu juga telah dikemas rapi dalam kantong kecil untuk dikembalikan kepada pemiliknya esok.

Jam yang tergantung di dinding kamar mengabarkan bahwa sudah saatnya untuk tidur. Prilly membenarkan posisinya di atas ranjang, kemudian menarik selimut untuk menutup tubuhnya sampai ke dada. Semua lampu dibiarkan menyala. Dia tak pernah jatuh cinta pada kegelapan.

***
"Itu jaket si Axel yang kemarin, kan? Kenapa masih lo bawa?" Tiara langsung melempar pertanyaan saat mereka bertemu di koridor kelas. Hari kedua masuk sekolah. Suasana saat bel masuk sama riuhnya di sekolah mana pun. Para siswa berebut untuk mendapat pintu masuk kelas duluan. Sebagian dari mereka tak sabar untuk bertukar kabar di depan pintu seolah sudah setahun tidak bertemu.

"Kemarin lupa nggak gue kembaliin. Setelah nurunin gue, dia nggak negur atau ngomong apa-apa lagi dan langsung putar motornya."

Prilly menjawab dengan kepala celingukan, berharap angin pagi membawa wujud Axel ke hadapannya detik ini.

Namun hingga keduanya tiba di bingkai pintu, Prilly tetap tak mendapati sosok itu. Ingin rasanya menghentikan langkah di tengah pintu untuk kembali mengabsen wajah para senior yang lewat di depan kelasnya, tapi arus teman-teman memaksanya untuk segera masuk jika tak ingin jatuh terdorong.

"Udah, balikin nanti aja," seru Tiara.

Dia meraih lengan Prilly dan mengajaknya untuk menjemput tempat duduk mereka.

"Gue heran, kenapa kemarin tuh cowok yakin banget mau nganterin lo pulang? Emangnya dia beneran tau rumah lo?" tanyanya ketika dua tubuh mereka telah mendarat di atas bangku.

Prilly mengangguk sekilas. Matanya masih berayun-ayun ke jendela, berharap sosok tersebut tak sengaja memunculkan kepala di sana.

"Dia tetangga gue," ucapnya, menjawab pertanyaan yang diajukan temannya barusan.

"Tetangga?" Mata Tiara membulat otomatis. "Maksudnya, rumah lo sama dia sebelahan?"

"Bukan sebelahan, tapi berseberangan."

Tiara masih tak menduga. Mulutnya menganga dan alisnya berkerut seolah usai mendengar hal paling konyol sepanjang masa.

Sebab tak kunjung mendapati sosok Axel, akhirnya Prilly memutuskan untuk menyimpan jaket itu ke dalam tas ranselnya. Jam pelajaran pertama akan dimulai dalam beberapa menit. Dia akan berjumpa dengan mata pelajaran MTK yang kata Tiara, gurunya masih muda dan ganteng tapi botak karena kebanyakan nyemil rumus.

"Eh, Ra." Prilly menyenggol lengan Tiara. "Lo tau, nggak? Kenapa kemarin tiba-tiba si Axel nungguin gue di UKS? Terus kenapa dia bilang kalo itu emang jadwalnya dia?" tanyanya untuk  menuntaskan rasa penasaran yang kemarin belum sempat terjawab.

LOVE LETTER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang