Chapter 1

203 14 1
                                    


Untuk sekali lagi, gadis bermata cokelat itu memandang ke belakang. Lentik angin memainkan anak rambutnya hingga jatuh ke sudut mata. Ia tak tahu, mengapa kaki ini mendadak terasa berat untuk dilangkahkan? Segerombolan burung yang tak sengaja melintas seolah menyanyikan sebuah lagu tentang perpisahan.

"Prilly...." Seorang pria dewasa yang berdiri di sisinya menegur. Suaranya lembut mengimbangi desau angin yang dikirim alam pagi ini. "Kenapa wajahmu mendadak pucat?" tanyanya.

Gadis itu menggeleng. Dia kembali memutar tubuh dan menegakkan kepala. Bandara ramai oleh orang-orang yang menyeret koper besarnya. Suara percakapan dan teriakan menyelingi. Ada satu keluarga yang tengah melepas kepergian salah seorang anggotanya untuk merantau ke kota lain.

"Tidak kenapa-napa, Pa," jawabnya berbohong. Ingin sekali mengatakan bahwa masih banyak kenangan yang tertinggal, terutama kenangan tentang kebersamaan keluarga kecil mereka saat masih utuh, belum runtuh. Namun, ia tak boleh mengatakan hal itu pada sang papa atau akan kembali memantik datangnya air mata.

"Ayo kita berangkat, Sayang. Pegang tangan Papa."
Prilly meraih jemari yang disodorkan oleh papanya, kemudian menenggelamkannya dalam genggaman. "Ayo," serunya setelah mati-matian membujuk wajah agar bersedia menampilkan raut ceria seperti biasanya.

Pagi ini, pesawat akan membawa mereka terbang jauh meninggalkan semua kenangan di kota ini. Langit merekah. Awan seputih kapas menggantung rendah. Prilly yakin bahwa semua hal terjadi untuk pada akhirnya menjadi kenangan. Ada sebagian kenangan yang bisa diulang, tapi lebih banyak yang hanya bisa untuk dikenang. Termasuk kebersamaan mereka dengan sang mama yang kini telah menemui kata khatam.

***
"Papa udah beli rumah seperti yang kamu inginkan. Suasananya asri, di kanan kirinya banyak pepohonan. Dan tentunya, jauh dari bising kendaraan dan polusi." Pak Dani berceloteh panjang lebar saat taksi membawa mereka dari bandara menuju rumah baru.
Sementara gadis yang duduk di sisinya terus melempar mata ke luar jendela. Dia mengamati hiruk-pikuk Jakarta sambil terkagum-kagum.

Meskipun selama ini tinggal di kota yang tak kalah ramai dan menjadi ibu kota provinsi, tapi pindah ke ibu kota negara menjadi hal yang sangat menakjubkan. Jalanan penuh sesak oleh kendaraan. Suara klakson beradu. Pedagang asongan mengetuk jendela mobil setiap tiba di pemberhentian lampu merah.

"Kamu senang kan, bisa pindah ke kota yang jauh lebih besar?" Pak Dani melempar pertanyaan saat roda taksi belum tuntas berputar-putar membelah jalanan. "Di sini, kamu bisa semakin dekat dengan kesempatan untuk mewujudkan impian-impianmu yang belum tergapai."

Prilly mengangguk samar. Tidak mungkin dia mengungkapkan kecemasannya akan tinggal di kota yang terkenal kejam ini. Sejak awal, yang paling bersemangat untuk pindah adalah papanya.

Walaupun menggunakan dalih untuk mengurusi pekerjaan, tapi dia paham bahwa kepindahan kali ini sekaligus untuk menyembuhkan luka di hati papanya yang masih membekas sebab kejadian beberapa tahun silam.

Meskipun senyum selalu terpancang dengan riang, tapi tak ada hati yang benar-benar sembuh. Jika mereka tetap tinggal di rumah lama, maka hati akan kembali mengkerut setiap memandang kenangan yang terpajang di sudut-sudutnya.

"Di sini, kamu juga akan senang karena memiliki teman baru yang seru-seru. Putri Papa ini kan cantik banget, nggak ada yang menandingi. Pasti nanti bakal banyak cowok yang mengantri pengen dijadiin pacar," gurau Pak Dani sambil mengelus rambut Prilly.

Gadis itu tetap hening tanpa suara. Sejauh perjalanan dari bandara, Prilly belum melontarkan sepatah kata. Hanya ada anggukan samar yang diberikannya untuk menanggapi ucapan sang papa.

"Kamu kan sudah besar, sudah tujuh belas tahun, sudah bikin KTP. Nggak ada salahnya kok mencoba buka hati untuk sosok baru. Yang penting kuncinya cuma satu—berani."

LOVE LETTER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang