Chapter 5

56 4 4
                                    


Keesokan harinya, Axel datang lagi saat matahari sudah terbenam. Sembari menunggu Prilly turun dari kamar, dia ngobrol hangat dengan Pak Dani seolah-olah mereka adalah sahabat lama yang kembali berjumpa. Bahasan mereka panjang sekali seperti ular. Pak Dani membagi kisah masa remajanya tanpa sungkan. Dia bercerita bahwa dulu pernah menulis surat cinta untuk seorang perempuan yang masih disimpannya sampai sekarang.

"Nah, ini yang ditunggu udah datang." Pak Dani menutup cerita saat Prilly menampakkan wujudnya. Dia buru-buru mengangkat tubuh dan pamit ke belakang, menyisakan Prilly dan Axel berdua di ruang tamu.

Prilly duduk dalam posisi yang berseberangan dengan Axel seperti kemarin. Untuk beberapa waktu, mereka saling diam seperti sedang meresapi temaram cahaya lampu. Gorden jendela sedikit terbuka dan membiarkan rembulan mengintip kebersamaan mereka. Gambar kucing di kaus Prilly seakan bersiul untuk memantik lahirnya suara mereka. Axel memainkan jemarinya di atas lutut sembari mengamati rambut Prilly yang dikuncir jadi satu ke belakang.

"Bokap lo cerita , lo suka nyanyi sejak kecil,"ujar Axel setelah menit-menit mereka lalui dalam keheningan. Volume suaranya pelan sekali seakan takut semut akan mendengar. "Gue pengen denger suara lo nyanyi," lanjutnya.

Prilly masih merapatkan kedua bibirnya. Dia memikirkan lagu apa yang paling cocok dinyanyikan agar cowok itu tak meragukan bakatnya. Dia memandang kaus hitam yang kontras dengan kulit terang Axel.

Sesekali ia mengabsen anak rambut cowok itu yang berdiri seperti pedang di kepalanya.

Setelah membiarkan senyap kembali mengungkung beberapa saat, Prilly memilih untuk menyanyikan lagu bernada tinggi milik Adele berjudul All I Ask.
Suara pertama meluncur dari kerongkongannya, kemudian menampar udara dan berpantulan di dinding-dinding ruang. Axel menyimak sambil merinding.

Dia yang awalnya dijajah keraguan, mendadak menggugurkan seluruh ragu dalam hatinya. Ternyata suara Prilly tak seburuk yang ia duga, justru sebaliknya. Gadis itu membawakan lagu dari nada rendah ke tinggi, kemudian merendah lagi. Matanya terpejam untuk menghayati makna dari lirik lagu yang dinyanyikannya.

Setelah lagu berakhir, keduanya kembali diam seolah sibuk mengeja perasaan yang mengembang di hati masing-masing. Kesenyapan perlahan menjalar. Hanya terdengar waktu yang terus berdenyut. Detak jam yang tergantung di dinding ruangan terdengar berat.

"Suara lo bagus. Hanya aja di beberapa nada tinggi, lo masih agak ragu," katanya, "tapi kalo lo mau latian rutin, gue yakin suara lo akan bagus banget saat nyanyi lagu apa pun. Dan, Bu Dinda pasti bakal ngelirik lo buat jadi vokalis band kita."

Wajah Prilly berangsur berbinar demi mendengar kalimat Axel. Rasa senang berayun pelan, kemudian berputar mengepung bilik-bilik jantungnya. "Lo mau nemenin gue latian rutin?"

Axel mengangguk. Dia memandang sepasang mata Prilly yang segar dan mendamaikan bagai telaga. Entah mengapa mendadak detak jantungnya mengambang samar-samar bagai bayangan yang muncul dari rerimbun kabut waktu. Dia tetap memandang Prilly dalam waktu yang lama. Semakin lama, pandangannya semakin biru dan tenang bagai samudra.

"Lo kenapa diam sambil mandang gue kayak gitu?" Prilly merasa tak nyaman. Dia menyembunyikan tangan di atas pangkuan sebab merasa mulai dijajah kegugupan.

Setelah mengukir senyum samar, cowok itu menjawab, "Mata lo cokelat. Bagus."
Prilly segera memalingkan mukanya. Tapi, dia tak mampu melawan wajahnya sendiri yang tiba-tiba memerah seperti tomat. Gadis itu sudah berusaha mengalihkan perhatian dan pura-pura sibuk memainkan jari kaki, tapi yang ada justru gerak-geriknya semakin membisikkan kalau ia salah tingkah.

Menyadari itu, Axel berdeham pelan untuk memecah kabut yang mengeruhkan suasana. "Gue pulang dulu, ya. Makasih untuk satu lagu yang begitu indah malam ini," katanya sembari menarik tubuh dari sofa. Dia merapikan rambut dengan jemarinya, kemudian hadap kanan dan mengambil langkah untuk beringsut dari sana.

LOVE LETTER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang