Chapter 7

19 6 13
                                    

Prilly terus menangis sepanjang hari. Terlebih saat melihat unggahan Bu Dinda di sosial media yang menuturkan bahwa vokalis baru band sekolah sudah terpilih. Dia adalah Silvia, anak kelas XI IPS. Prilly memukul-mukul layar handphone yang tidak bersalah. Dia merutuki diri sendiri yang gagal tampil dan tak berhasil menempati posisi itu. Seandainya saja dia sudah tampil sebaik mungkin, tapi tetap tidak terpilih, tentu rasa sakit di hatinya tidak akan sehebat ini.

Matahari telah pamit. Langit berubah pekat.Bintang menari di angkasa tanpa peduli pada hati Prilly yang hancur tak tertata. Di saat-saat seperti ini, wajah Axel muncul di langit-langit kamarnya. Prilly sudah berusaha memejamkan mata, tapi bayangan cowok itu semakin mantap berdaulat hingga terasa memalu ruas-ruas tulangnya. Sosok Axel seolah berdiri di setiap sudut dari kamarnya, kemudian mengirim senyum yang menggetarkan jiwa.

Prilly ingat bagaimana tadi siang Axel datang sambil menimang sejuta kekhawatiran. Hanya saja, sang papa langsung menyuruh cowok itu pulang tanpa alasan. Sejujurnya ia ingin menahan dan meminta Axel agar tetap tinggal. Tapi, titah papanya tak pernah mampu ia lawan.

Gadis itu semakin resah. Ia mencoba menyetir pikirnya agar tak berlebihan. Matanya ditutup. Ia berusaha menenggelamkan alam sadarnya menuju alam mimpi secepatnya. Namun, hatinya terasa tak nyaman hingga matanya pun enggan terpejam.

Setelah beberapa menit berlalu dan suasana hatinya tetap sama, Prilly memutuskan untuk turun dari tempat tidur dan meletakkan tubuhnya di depan jendela. Dia menyibak gorden perlahan, hendak memantau keadaan rumah seberang. Saat matanya telah ditaruh di kaca jendela, ia seperti diberi kejutan oleh semesta sebab mendapati sosok Axel berdiri dalam posisi yang sama di seberang sana. Cowok itu tengah mengamati jendela kamar Prilly dari lantai bawah rumahnya. Mata mereka bertemu, beradu menembus jarak yang ada. Detik ini juga, masing-masing dari mereka yakin bahwa tak ada yang sanggup tinggal dalam jurang kerinduan lebih lama.

***
Keesokan harinya, kondisi Prilly sudah membaik. Suaranya telah pulih sebab obat dari dokter. Hanya saja, hatinya masih sama hancurnya dengan kemarin sebab gagal menunjukkan penampilan terbaik yang sudah disiapkan sejak jauh-jauh hari.
Di jam istirahat, dia menolak ajakan Tiara untuk pergi ke kantin. Saat temannya itu mengajukan tawaran lain hendak mengajaknya ke perpustakaan, Prilly malah menolak. Ia tak ingin ke mana pun, makan apa pun, atau membaca apa pun.

"Ya udah, gue tinggal ke kantin, ya? Lo di sini sendiri nggak papa, kan? Laper banget, nih. Tadi belum sarapan," ujar Tiara sembari mengelus-elus perutnya.

Prilly memberi anggukan sekilas. Matanya tak memandang. Tiara mencoba memahami itu. Walaupun tak ikut merasakan gejolak yang membakar hati temannya, setidaknya ia bisa membayangkan tentang kekecewaan yang menumpuk di batin Prilly seperti gunung.

Seperginya Tiara, kelas itu tinggal menyisakan Prilly seorang. Tak satu pun teman yang menghabiskan jam istirahat di kelas. Kantin atau tempat lain menjadi pilihan yang lebih mengasyikkan. 

"Hai, Cantik." Sebuah suara muncul seperti dari dalam gua dan mengejutkan Prilly.

Gadis itu mengangkat kepala. Telah berdiri seorang cowok yang tak dikenalnya. Tubuhnya tinggi dengan kulit sedikit gelap. Kerah seragamnya tak dilipat dan dasinya dianggurkan di dalam saku. Wajah dan rambutnya berantakan seperti baru bangun tidur. Prilly bergidik ngeri saat mendapati cowok itu menjajakan seringai nakalnya.

"Kok sendirian? Mana temannya? Gue temenin, ya?"Cowok itu mengambil posisi duduk di sisi Prilly tanpa peduli kalau kehadirannya tak diinginkan.

"Lo siapa, sih? Sembarangan duduk aja." Prilly yang tak nyaman segera mengangkat tubuhnya. Dia hendak bergerak menjauh, tapi lengannya terlebih dulu ditarik kasar oleh cowok sok kenal itu.
Prilly berusaha membebaskan lengannya, tapi kekuatannya tak sebanding dengan cowok itu.

LOVE LETTER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang