Chapter 8

20 4 3
                                    

"Ra, gue nemu surat ini di laci lemarinya papa."

Prilly menyodorkan kertas lusuh saat pertama kali masuk kelas setelah apel pagi hari ini. Teman lain sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang bisik-bisik untuk membahas gosip terbaru. Ada pula yang saling tuduh dan meminta pertanggungjawaban atas pulpennya yang hilang.
Tiara mengerutkan kening. Dia menerima kertas itu setelah beberapa detik meragu.

"Sebenarnya Ellennita itu siapa, sih? Kenapa papa sampe repot-repot bawa surat ginian ke rumah baru? Ini kan surat cinta-cintaannya anak kecil. Liat aja tuh, bahasanya lebay banget," ucap Prilly sembari menaruh tubuh di atas bangku. Dia melipat dua tangannya di atas meja.

Tiara menjatuhkan mata di atas tulisan tangan yang sudah sedikit memudar. Dia melahap kata demi kata dalam diam. Isi surat itu tak terlalu panjang. Hanya sekadar ungkapan basa-basi tentang cinta. "Kalo menurut gue, Ellennita itu mantan pacar papa lo. Secara, waktu lo nemu novel, lo bilang kalo papa lo nyebut perempuan itu sebagai kekasihnya.

Sedangkan nama mama lo bukan Ellennita," ujarnya setelah kembali mengangkat mata.

Prilly diam sesaat, kemudian menjawab, "Bener juga." Ia ingat malam itu menemukan novel terselip di antara buku kerja sang papa, kemudian esok harinya langsung diceritakan pada Tiara.

"Selain nemu surat ini, lo nemu apa lagi?" Tiara menghadapkan tubuh ke arah Prilly. Hidungnya kembang kempis menanti jawaban yang hendak diberikan temannya.

"Gue juga nemu gambar cowok sama cewek sedang duduk berdua di taman. Itu gambaran tangan papa gue sendiri. Dia emang suka gambar-gambar gitu."
Tiara membuka matanya lebih lebar. Dua ujung alisnya hampir bersentuhan. "Terus sekarang gambar itu di mana?"

"Gue buang di lubang pohon."

Mendengar jawaban Prilly, wajah Tiara berubah sekusut kain. "Ngapain lo buang di lubang pohon?" tanyanya penuh penekanan.

"Tadinya gambar itu dan surat ini mau gue buang ke tong sampah di depan rumah. Tapi, tong sampahnya nggak ada, jadinya gue buang ke lubang pohon aja."
Tiara menatap tajam ke arah Prilly. Embusan napasnya terdengar berat. "Emangnya kenapa kok mau lo buang?"

"Gue nggak suka aja kalo papa masih nyimpen-nyimpen kenangan sama mantannya, sekalipun itu mama gue sendiri," jawab Prilly dengan dua bahu terangkat. Dia membenarkan posisi duduk, kemudian mulai menata buku dan alat tulis di atas meja. Jam pelajaran pertama akan segera dimulai.

"Tapi, gue nggak jadi buang surat ini karena pengen gue kasih liat ke elo," lanjutnya.

"Lo aneh, deh." Tiara mendengus. "Pokoknya sepulang sekolah nanti, lo harus ambil gambar itu lagi. Ini bisa jadi bahan untuk cari tahu siapa sebenarnya mantan papa lo," katanya dengan wajah berapi-api. Dia diam sesaat dengan mata yang disorotkan lurus ke manik Prilly. "Gue curiga kalo ini semua ada hubungannya sama Axel."
Prilly melengkungkan alisnya sambil memandang Tiara tak mengerti.

***
Setelah turun dari motor milik sang papa, Prilly tak langsung masuk ke dalam rumah. Dia diam di tempat untuk menunggu papanya masuk terlebih dulu. Ketika wujud Pak Dani telah sirna dari pandangan mata, Prilly segera mengayunkan langkah dengan cepat menuju pohon itu.
Lubang sebesar wajah manusia menyapanya. Ranting-ranting berbunyi setiap angin membelainya. Prilly memasukkan tangan ke lubang itu dan bergerak mencari-cari. Ia bersyukur sebab kertas yang ditaruhnya kemarin masih ada.
Setelah Prilly mengeluarkan kertas itu dan menaruhnya di depan mata, ia dibuat terkejut karena wujudnya telah berubah. Ini bukan kertas yang kemarin. Rupanya lebih putih dan bersih. Prilly membolak-balikkan sebelum membuka lipatannya. Kemudian, dia terkejut saat mendapati satu baris tulisan di tengah-tengahnya.

"Gambar lo bagus. Lo suka gambar, ya?"
Kalimat tersebut ditulis dengan tinta berwarna biru. Hurufnya kecil-kecil dan berjajar rapi. Prilly mencoba mengingat-ingat barangkali sudah pernah melihat tulisan tangan serupa ini. Tapi, ia tak ingat. Tulisan tangan itu sama sekali asing.

LOVE LETTER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang