Chapter 10

19 3 5
                                    

Sepasang mata Bu Ellen mematuk jam tangan berulang. Wajahnya menunduk dan terangkat. Ia sudah duduk di kursinya lebih dari sepuluh menit, tapi kawan sarapannya tak kunjung hadir. Beberapa kali ia menyerukan nama sang putra, tapi Axel tak menanggapi sepatah kata pun. Di hadapannya, telah tertabur menu yang ditata di atas piring-piring. Nasi putih mengepulkan asap, aroma ayam goreng memanjakan penciuman, sambal goreng berwarna merah menantang, sementara timun dan daun kemangi menghijaukan meja makan.

Bu Ellen mengangkat wajah lagi. Kali ini sepasang netranya disorotkan pada jam berbentuk lingkaran yang berdetak tenang di dinding ruang. Sudah jam tujuh kurang seperempat. Tapi, Axel tak juga menampakkan batang hidungnya padahal ia harus sekolah.

Akhirnya Bu Ellen memundurkan kursinya. Dia mengangkat tubuh dan menyingkur meja makan. Langkahnya mulai terambil dengan pasti. Ia menghampiri Axel ke kamar karena khawatir kalau sang putra belum bangun dan akan terlambat datang ke sekolah.

Setibanya di depan kamar Axel, jemari-jemarinya yang panjang ditekuk, kemudian mencipta pukulan beraturan pada pintu. "Sayang, sarapan, yuk! Nanti kamu telat," ujarnya di sela suara ketukan pintu.

"Axel, apa kamu belum bangun?" Dia meralat kata-kata sebab tak mendapat jawaban apa pun.

Tetap hening. Bahkan pintu yang diketuk Bu Ellen seperti menghentikan napas.

Perempuan itu memutuskan untuk mendaratkan jemarinya pada knop pintu. Ditekannya pelan-pelan, kemudian bingkai pintu didorongnya dengan pasti.
Dahinya segera terlipat ketika mendapati sang putra tengah menaruh kepalanya di meja belajar. Mata Axel terpejam dengan tangan memegang pulpen. Tubuhnya telah terbungkus seragam sekolah lengkap. Tas hitamnya berdiri siap di sebelah kepalanya.

Bu Ellen geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah putranya. Ia curiga kalau tadi malam Axel begadang untuk bermain game, sampai-sampai pagi ini matanya memberontak dan memaksa untuk ditutup lagi. Perempuan itu mengayunkan langkah untuk memperpendek jarak dari meja belajar putranya. Ujung celana panjangnya bergerak dan hampir menyentuh lantai setiap kakinya berayun.

"Axel, kenapa kamu malah ti...." Ucapannya tak tuntas sebab matanya lebih dulu menangkap sehelai kertas yang seolah melempar senyum padanya dari atas meja. Jantungnya ingin melompat detik ini juga.

Dengan gemetar, Bu Ellen memanjangkan tangannya untuk meraih kertas itu. Bola matanya berkedut-kedut menyaksikan gambar yang ada di sana. Kepalanya membengkak teringat kenangan. Pikirannya disambangi sekelebat bayangan pria yang dulu pernah begitu sabar menunggunya di taman kota hanya untuk menyerahkan setangkai kembang.

"Ini kan gambarnya Dani yang waktu itu dikasih ke aku. Kenapa gambar ini bisa ada di Axel?" Kepala Bu Ellen mencipta pertanyaan tanpa mendapat jawab. Matanya berpindah-pindah dari kertas itu menuju wajah Axel yang terlelap. Setelah mengumpulkan kembali kesadarannya, dia segera balik kanan dan membawa kertas itu pergi dari kamar putranya. Niat awal hendak membangunkan Axel dilupakan. Justru ia keluar membawa kenangan dari masa lalu yang sejak lama ingin dienyahkan.

***

Saat melintasi meja milik kakak-kakak kelas di perpustakaan, Prilly tak sengaja mendengar mereka tengah membicarakan Axel. Pikirnya langsung panik ketika mulut kakak-kakak kelas itu membicarakan Axel yang tak datang ke sekolah tanpa keterangan hari ini.

Gadis itu segera membalikkan tubuh dan melupakan niatnya hendak mencari buku biologi. Langkahnya berayun cepat melintasi rak-rak yang menyajikan aneka macam bacaan. Ia tak memedulikan buku-buku yang menyapa dari raknya masing-masing. Di ujung rak, Prilly membelokkan langkahnya. Dia melewati bola dunia dan peta yang terbentang di dinding perpustakaan. Kakinya merayap di atas lantaidengan mantap. Rambut sebahunya yang dikuncir jadi satu ke belakang bergerak-gerak pada setiap langkah yang ia ciptakan.

LOVE LETTER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang