Chapter 12

44 2 3
                                    

"Ma, lusa aku bakal tampil bareng band-ku untuk mengikuti perlombaan band tingkat SMA se-Jakarta. Acaranya tayang di televisi, siang hari. Mama jangan lupa nonton, ya." Axel berbicara sambil menaruh nasi di atas piring. Dia mendorong mundur kursi dengan kaki, kemudian mendudukkan diri setelah piringnya penuh oleh nasi. Jemarinya ganti mengambil perkedel dan tempe goreng.
Bu Ellen mengangguk. Dia sibuk melakukan hal yang sama dengan Axel, memenuhi piringnya dengan makanan. "Ya, kalau Mama nggak sibuk atau nggak ketiduran."

"Ya, diusahain jangan sibuk dong, Ma." Axel meraih sendok, kemudian memasukkan suapan pertama ke dalam mulut. "Aku bakal bawain lagu yang dulu sering Mama nyanyiin bareng aku pas masih kecil."
Perempuan berhidung mancung itu menghentikan gerakannya. Sambal goreng telah mengambil takhta di pinggiran piringnya. "Lagu apa?" tanyanya sambil mengerutkan kening.

"Rahasia." Axel menjawab sambil memainkan alis. Dia menuangkan sayur sop ke piringnya, kemudian mulai menyendok lagi. "Kalo Mama penasaran, ya lusa tonton aja di televisi," tambahnya dengan mulut yang sibuk mengunyah makanan.

Bu Ellen mengembuskan napas berat. "Ya, deh. Doakan aja biar Mama nggak ketiduran." Bahunya naik dan turun kembali. Perempuan itu meraih sendok, kemudian sibuk menjejalkan makanan ke mulutnya.

Di tengah kesibukan keduanya menandaskan makan malam hari ini, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Bu Ellen dan Axel saling tatap sejenak. Setelahnya, pintu rumah dipukul bertalu-talu seolah seseorang di luar sana sudah tak sabar ingin dibukakan pintu. "Siapa sih yang namu jam segini?" tanya Bu Ellen dengan muka sedikit tertekuk sebab merasa terganggu.

Axel menaruh sendok, kemudian meraih gelas dan meneguk airnya setengah. "Biar Axel bukain," ucapnya sembari mengangkat tubuhnya dari kursi.
"Nggak usah, Axel. Biar dibukain sama bibi aja. Kamu duduk lagi dan habisin makanannya, ya," pinta Bu Ellen sembari memberi isyarat dengan tangannya.

Axel memandang mamanya sekilas. Seseorang di luar sana memukul pintu tak sabaran sambil berucap permisi. Axel batal duduk kembali sebab mengenali suara itu. Dia memberi kedipan mata pada mamanya agar diizinkan keluar untuk membukakan pintu.

Saat pintu terbuka, wujud Bu Dinda langsung memenuhi pelupuk mata. Axel menatapnya heran. Wajah perempuan itu sekusut baju yang mengendap di dasar lemari tanpa pernah disetrika selama satu tahun. Dia menatap Axel dengan rasa panik yang berembus dalam setiap jengkal napasnya.

"Bu Dinda? Ada apa Ibu ke sini malam-malam?" Axel bertanya dengan heran. Dia memutar leher ke kiri dan kanan, berusaha mencari tahu dengan siapa Bu Dinda datang. Tapi, hanya ada pohon-pohon yang menengadahkan wajahnya pada bintang. Rupanya Bu Dinda datang sendirian. Hanya ada mobil hitamnya yang diparkir di depan pagar rumah.

"Axel, Ibu baru dapat kabar kalau Silvia kecelakaan. Kakinya patah tulang dan harus dioperasi," ujar Bu Dinda dengan suara gemetar. Rongga-rongga matanya ditinggali kecemasan. Jemarinya mencengkeram daster santai yang biasa dipakai di rumah. Ia tak sempat mengganti pakaian saking paniknya.

Di atas kedua kakinya, Axel berdiri sambil menggigit bibir. Bayangan tentang keberhasilan lomba esok lusa mendadak buyar. Pandangannya merayapi udara kosong.

"Bagaimana ini, Axel? Kita nggak mungkin maksain Silvia untuk tampil. Sementara kita juga nggak mungkin membatalkan untuk ikut lomba ini." Untuk pertama kalinya, Bu Dinda berlaku sedemikian panik di depan muridnya. Padahal selama ini dia terkenal sebagai orang yang tenang dan selalu berhasil menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.

Axel diam dan berpikir. Dia sempat teringat Laura, tapi akan membutuhkan waktu lama jika harus mengulang latihan. Sementara lagu yang akan dibawakan oleh bandnya adalah lagu pribadi milik keluarga yang tak akan keluar jika dicari di internet. Hanya orang-orang terdekat yang tahu dan hafal lagu tersebut.

Di tengah situasi genting seperti ini, tiba-tiba nama Prilly meraba pikiran Axel. Ya, sepertinya gadis itu bisa dijadikan jalan keluar. Axel teringat kebersamaan mereka di hari-hari yang telah lalu. Dia sering mengajak Prilly menyanyikan lagu ini bersama. Tentu saja gadis itu sudah tahu dan menghafalnya dengan baik.

Setelah menarik napas panjang dan berdoa agar rencananya diridai semesta, Axel berkata, "Baik, saya akan mencarikan pengganti Silvia. Besok pagi saya langsung kabari Ibu. Sekarang Ibu tengok kondisinya Silvia aja dulu dan nenangin dia. Pasti dia sedih banget karena gagal ikut lomba, padahal ini akan jadi penampilan pertamanya bareng band kita."

Bu Dinda menatap Axel beberapa saat, kemudian dia mengangguk dan pamit pulang.

***
Setengah jam setelahnya, Axel sudah berada di ruang tamu rumah Prilly. Pak Dani yang membukakan pintu. Walaupun dengan wajah tak ramah, tapi lelaki itu tetap mempersilakan Axel masuk.

Setelah beberapa saat menunggu, Prilly turun dari kamarnya dan mengambil posisi duduk berseberangan dengan Axel. Gadis itu memberi isyarat pada papanya agar meninggalkan mereka berdua. "Mau apa lo ke sini?" tanya Prilly dengan wajah jutek setelah Pak Dani beringsut pergi.
"Gue butuh bantuan lo buat gantiin Silvia jadi vokalis band untuk acara lomba esok lusa," jawab Axel dengan wajah memelas. Dia sudah menyiapkan mental seandainya Prilly akan menolak mentah-mentah permintaan tolongnya.

"Gantiin Silvia?" Di atas kursinya, Prilly bertanya tak mengerti.

Axel mengangguk mantap. Dia membenarkan posisi duduknya dan berdeham pelan. "Iya, Pril. Silvia habis kecelakaan dan besok nggak bisa ngisi suara. Gue butuh bantuan lo buat gantiin dia."

"Kenapa harus gue? Kenapa nggak yang lain aja?" Gadis itu bertanya dengan alis yang naik tak wajar.
"Karena band kita bakal bawain lagu milik keluarga gue sendiri. Nggak ada yang tau lagu ini selain lo."
Prilly masih menatap tak mengerti. Wajahnya tersiram temaram lampu yang seakan ingin jatuh setelah mendengar penuturan Axel tadi. "Emangnya lagu apa?"

"Lagu yang dulu sering kita bawain di sini. Ya, di kursi ini. Lagu itu ciptaan almarhum kakek gue sendiri."

Prilly mengatupkan bibir. Pandangannya dibuang dari wajah Axel untuk mengingat-ingat. "Lagu yang judulnya Love Letter itu?"

Axel mengangguk cepat. "Iya, bener." Matanya berbinar akan harapan. Dia tak lagi mengingat kalau gadis di depannya telah berstatus menjadi mantan. "Lo mau, kan?"

Setelah keheningan mengungkung mereka beberapa waktu, akhirnya Prilly memberi anggukan. Wajah Axel berubah semringah. Ia begitu bahagia karena Tuhan telah mengirim Prilly untuk menjadi jalan keluar terbaik.

Setelah Axel pamit pulang, Prilly segera naik ke kamarnya. Dia mengambil pulpen dan buku tulis sembarang, kemudian membuka bagian tengah. Ditariknya satu kertas, kemudian gadis itu mendudukkan diri di meja belajar dan mulai menulis sesuatu di atas sana.
*********

APA YANG DITULIS PRILLY DALAM LOVE LETTERNYA?
APAKAH AKHIRNYA PRILLY BISA MENDAPATKAN RESTU UNTUK SALING MENCINTAI DENGAN AXEL?
ATAU JUSTRU AYAH AKAN MENGAJAKNYA PINDAH LAGI HINGGA IA HARUS BERPISAH DENGAN COWOK PERTAMA YANG BERHASIL MEMBUATNYA NYAMAN UNTUK JATUH CINTA?
APAKAH TANTE ELLEN AKAN MENJADI ALASAN PRILLY TERPISAH DENGAN AXEL?

*Untuk kepentingan editing naskah novel, ending cerita ini akan segera bisa kalian nikmati di novel LOVE LETTER yang akan segera diterbitkan oleh penerbit TISAPINKLUV.

Silahkan menikmati cerita cerita lain yang ga kalah seru ya guys😘 Jangan lupa VOTE and SHARE🙏🏼❤️

LOVE LETTER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang