Chapter 11

18 3 5
                                    

Setelah berselancar setengah jam membelah jalanan, akhirnya mereka tiba. Suasana kafe ramai oleh motor dan mobil yang membanjiri parkiran. Prilly turun dari boncengan Axel, kemudian mengarahkan matanya pada bangunan kafe yang berdiri agung di depan sana. Ini berbeda dengan kafe tempat Axel menyatakan cintanya sore itu. Kafe ini lebih besar. Pintu membentang lebar dan dapat dilewati tujuh orang sekaligus. Dinding-dindingnya dihuni kembang anggrek berwarna ungu dengan kecantikan yang menguar dari setiap kelopaknya. Sepasang tanaman lidah mertua jadi penyambut di kanan kiri pintu.

Mereka berjalan bersisian untuk menjemput pintu masuk kafe. Namun, langkah Axel tiba-tiba terhenti saat tiba di parkiran paling ujung yang hanya berjarak tiga meter dari pintu. Napasnya berembus panjang-panjang penuh kegugupan. Dia menyerukan nama Prilly dan meminta pacarnya agar menghentikan langkah.

"Ada apa?" Gadis itu bertanya tak mengerti. Dia memundurkan diri untuk menghampiriAxel yang tertinggal beberapa langkah darinya.
Dengan wajah yang mendadak pucat, Axel mengarahkan telunjuknya pada salah satu motor yang berdiri tenang di parkiran. "Itu bukannya motor papa lo, ya?"

Mata Prillylangsung melebar. Garis-garis di wajahnya menjadi kaku dan sulit digerakkan. "Astaga! Iya, bener. Ternyata papa lagi ketemu sama rekan kerjanya di kafe ini."

Tanpa pikir panjang, Axel langsung memutar balik tubuhnya. Langkahnya gontai dan wajahnya berubah abu-abu. Sinar matahari sore mengecup rambutnya yang bergerak ragu.

"Tunggu, Axel! Lo mau ke mana?" Dengan cepat, Prilly menyusul langkah cowok itu. Namun, Axel berlari terlalu cepat dan tak terkejar. Wujud cowok itu telah lenyap di parkiran dan tak lagi terlihat walau hanya sehelai rambutnya.

Prilly memutar kepalanya kebingungan. Bisa-bisanya Axel mengulang kesalahannya dua hari yang lalu. Gadis itu menekuk muka sambil mengacak rambut penuh frustasi. Kakinya dihentakkan pada tanah yang tak bersalah. Napasnya berembus panjang-panjang penuh amarah.

Tanpa Prilly sadari, seorang pria berjalan menghampirinya. Dia mendaratkan tangan di pundak gadis itu dan mendesiskan namanya.

"Prilly...."

Sontak saja Prilly memutar tubuh ke sumber suara.

"Papa?" balasnya dengan kening yang dibuat berkerut-kerut. Walaupun tengah jengkel tak keruan, tapi ia berusaha menampilkan ekspresi pura-pura terkejut ketika mendapati kehadiran papanya.

"Kamu ngapain ke sini?" Pak Dani mengedar pandang ke sekitar, berusaha mencari tahu dengan siapa Prilly pergi.

"Itu...." Prilly menggaruk tengkuk yang tak gatal. Dia membasahi bibir. Kepalanya berkedut-kedut mengarang jawaban. "Tadi... aku pergi sama... sama Tiara. Ya, aku ke sini sama Tiara, Pa."

"Sama Tiara?" Pak Dani mengerutkan keningnya.

"Terus sekarang Tiara di mana?"

"Anu... tadi dia bilang dompetnya ketinggalan, terus mau pulang ngambil." Prilly memanjangkan lehernya dan belagak mencari-cari. "Tapi nggak tau sampe sekarang kok belum balik."

Pak Dani manggut-manggut. Mulutnya mengerucut dan membentuk huruf O. "Kenapa kamu nggak bilang sama Papa kalo mau ke sini?"

Prilly membulatkan mata. Pertanyaan Pak Dani telah menamparnya. Bagaimana mungkin dia bilang hendak pergi ke sini jika kawan perginya adalah Axel? Itu tidak mungkin karena sudah pasti papanya akan melarang. Setelah diam beberapa waktu, Prilly mengarang jawaban lagi. "Tadi Tiara ngajaknya ndadak, Pa. Katanya pengen makan burger di sini gara-gara abis liat foto promosinya di sosmed."
Pak Dani manggut-manggut lagi. Tas selebar map berayun dari pundak kanannya. Tangan kirinya terbenam dalam saku. "Tiara udah pasti bakal balik ke sini, nggak?"

LOVE LETTER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang