Tiara menjerit hebat satu detik seusai Prilly bercerita kalau Axel telah menembaknya di kafe tersebut, dan gadis itu memberi anggukan untuk menerimanya. "Gila! Yang bener aja lo!" katanya sambil memandang Prilly tak percaya.
Di hadapannya, Prilly meninggikan kedua bahu. Pandangannya meluncur pada udara kosong. "Gue emang nggak bisa bohong sama perasaan gue sendiri, Ra. Ini bener-bener aneh."
Malam ini, Tiara sudah membuat janji hendak menginap di rumah Prilly. Besok hari Minggu. Mereka bebas membuka mata sampai tengah malam untuk berbagi cerita atau bermain-main.
"Lo tau sendiri, kan? Sejak mama gue pergi ninggalin papa, gue tuh selalu ngerasa janggal sama cinta. Gue nggak percaya lagi kalo cinta itu baik. Dan, gue bener-bener nggak paham kenapa sekarang gue tiba-tiba mempersilakan cinta itu buat tinggal di hati gue." Di sudut ranjang, Prilly duduk sambil mengacak rambutnya. Tangan kanannya mengepal, kemudian memukul kasur berlapis sprei dengan gambar bunga-bunga. Matanya terbuka dan terpejam bergantian, seakan berusaha menghamba pada semesta agar dibukakan jalan.
Tiara yang duduk di lantai beralas karpet bulu hanya bisa menengadahkan wajah dengan ekspresi kalut. Helai-helai rambut cepaknya seolah turut dikerahkan untuk membaca kebingungan Prilly. "Berarti, lo sama Axel sekarang udah pacaran?"
Prilly menggeleng lemah. Dia membalas tatapan Tiara dengan mata redup. "Gue nggak tau. Tapi, sepertinya emang gitu."Tiara mengembuskan napas berat. Dia mengangkat tubuh dari karpet, kemudian mengambil langkah menuju kamar mandi yang terletak di pojok ruang. Sebelum wujudnya dilenyapkan oleh pintu kamar mandi, dia sempat membalikkan tubuh untuk berkata, "Ya udah. Lo jalanin aja dulu. Sekeras-kerasnya larangan dari orang tua kalian, tapi kalo emang suka, ya mau gimana lagi?"
***
Hari-hari berikutnya, Axel dan Prilly masih berlagak seperti dua orang tak kenal setiap berjumpa. Mereka hanya mengandalkan surat yang ditaruh di lubang pohon untuk menebus rindu. Tiara yang mengetahui hal itu hanya bisa geleng-geleng."Kalian tuh kayak manusia jadul, tau, nggak! Sekarang zaman udah serba canggih, ada handphone, ada WA. Tapi, kalian malah repot-repot nulis surat. Pakek ditaruh di lubang pohon segala," seru Tiara saat mereka sedang menghabiskan jam istirahat di kantin. Ia melirik Prilly dari sudut mata saat sahabatnya itu tengah sibuk menulis surat balasan di tengah aktivitasnya menikmati semangkuk bakso.
"Ya, mau gimana lagi, Ra?" Prilly mengangkat kedua bahunya. Dia menutup pulpen dan melipat surat yang usai ditulisnya, kemudian menyimpannya dalam saku seragam. "Emang itu yang terbaik," lanjutnya sembari mengedar pandang ke seisi kantin. Ia resah karena tak menemukan Axel di sudut mana pun, padahal ingin sekali membungkus senyuman cowok itu dan mengendapkannya dalam hati.
Para siswa yang baru keluar dari kelasnya segera berebut meja. Mulut-mulut berteriak menyebut pesanan mereka. Para penjual sibuk menaruh bakso dan mie di atas mangkuk. Ada suara minyak meletup-letup yang siap mematangkan bakwan dan tempe. Aroma bumbu nasi goreng mengambang memenuhi langit-langit. Di kedai paling pojok, dua perempuan paruh baya sibuk mengepruk es batu dengan palu.
"Yang terbaik?" Tiara menepuk jidat. Dia menjauhkan mangkuk bakso dari hadapannya, kemudian meraih es teh dan mulai menyeruputnya. "Terus mau sampe kapan? Emangnya lo nggak pengen kayak pasangan-pasangan lain yang bebas habisin waktu berdua? Lo nggak pengen kencan sama Axel, hah?" ucapnya setelah menenggak teh sampai menyisakan separuh gelas.
"Hust! Jangan keras-keras!" Prilly meletakkan telunjuk di depan bibir. Dia mengedar pandang untuk memastikan tak ada yang mendengar. Untunglah siswa lain sibuk membuat forum bicara sendiri sembari menikmati makanan. Meja tetangga mereka diisi empat gadis yang saling cekikikan menggosipkan para artis.
"Ya, maaf," ujar Tiara dengan volume yang telah dipelankan. "Lagian gue heran sama kalian berdua. Kok, sempet-sempetnya nulis surat sampe begitu banyak dan nggak pernah janjian buat ketemuan."
Prilly mendekatkan tubuhnya ke arah Tiara. Bakso di mangkuknya masih ada. Esnya baru tersedot beberapa teguk saja. "Nanti kalo gue sama dia ketemuan, gue khawatir papa gue atau mamanya dia akan tau."

KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE LETTER
Teen Fiction"Apa kelak aku bisa mencinta, jika pikiranku selalu curiga tentang luka yang akan menimpa? Akankah datang sebuah nama untuk menghuni hati, jika aku selalu mengkhawatirkan pengkhianatan yang mungkin terjadi? Dan, apa aku bisa menulis surat cinta, jik...