"Tante."
Aku membuka mata. Hampir saja aku ketiduran menunggu bocah-bocah kecil itu. Duduk menyender di sofa empuk ini membuatku mengantuk. "Udah?" tanyaku ketika mereka para anak lelaki sudah berjejer dengan satu mainan di masing-masing tangan. Kafka memegang tiga, satu mainannya cukup besar. "Kalian duduk sini dulu, jangan ke mana-mana. Tante mau cari mama." imbuhku dan diangguki oleh tiga anak itu. Mereka langsung duduk di sofa yang kududuki tadi. Bagus, aku suka anak yang penurut.
"Mbak." panggilku ketika telah menemukan kakak iparku dengan tiga anak perempuan. Dia masih membantu memilih mainan untuk Juni. Anak itu sepertinya susah dimengerti. Terbukti dia selalu menggeleng ketika Mbak Kinan menyodorkan jenis mainan yang berbeda-beda.
"Sebentar. Ini belum mau." tutur Mbak Kinan lirih. Tak ada gurat lelah dari wajahnya seperti sudah biasa memahami Juni.
"Dek Kaf udah belum, Tan?'
Aku menunduk kepada gadis kecil yang memegang satu mainan boneka beruang yang ukurannya amat kecil dengan ring gantungan di atasnya. Tak tahu apa maksudnya, mungkin Ara sudah kehabisan tempat untuk meletakkan kumpulan boneka-bonekanya sehingga lebih memilih yang ukurannya kecil. "Udah, nunggu di depan tadi sama Juna Juno."
"Aku mau ke sana aja lah. Lama nungguin Juni." selorohnya lalu melenggang pergi.
"Aku udah punya yang ini, Tan."
Melihat Mbak Kinan lagi, Juni kembali menolak dengan alasan sudah punya. Tak hanya satu, empat boneka lain yang diambilkan wanita perut buncit tersebut masih ditolaknya. Dasar anak konglomerat.
Pasang mataku lalu beralih kepada anak lain yang masih tersisa. Anak bermata bulat itu terus mendongak menatap rak boneka di belakang Juni berdiri. Sesekali menoleh ke arah Mbak Kinan, sepertinya ingin memanggil, tapi tak berani. Kudekati dia agar beban Mbak Kinan sedikit terurai. Biarlah Juni tetap jadi urusannya. "Ana mau boneka yang mana?" tanyaku membungkuk dengan kedua tangan menumpu lutut. Agar kepalaku bisa sejajar dengannya. Tangan mungilnya lalu menunjuk boneka sapi putih bertotol hitam dengan pita warna merah muda di leher. Letaknya memang di atas, dia tak bisa menjangkaunya sendiri.
"Aku boleh minta yang ini, Tante?"
Dia bertanya setelah memeluk sapi itu. Aku mengangguk, untung dia tidak serewel Juni.
"Makasih, Tante. Aku udah punya yang warna coklat. Dulu yang beliin Mama." tuturnya tersenyum manis. Bisa kulihat binar matanya yang ceria. "Kamu namanya Pipi ya. Nanti jadi temennya Sasa di rumah." celotehnya tanpa menatapku lagi. Sasa dan Pipi, pintar sekali dia memberi nama untuk mainannya.
____
"Tante, laper."
Paduan suara kembali menggema ketika kami baru keluar dari toko mainan. Anak-anak menenteng mainannya sendiri-sendiri. Kafka yang paling kesulitan karena mainannya yang paling besar hingga aku juga yang harus membawanya. Tidak mungkin aku membebani kakak iparku lagi. Dia sudah kehabisan tenaga membujuk Juni yang akhirnya mau ketika diberi boneka kucing. Mungkin anak itu juga sudah lelah.
"Mau makan apa?" tanyaku singkat.
"Ayam goreng."
"Bakso."
"Sate ayam."
"Pizza."
"Donat."
"Es krim aja."
"Es krim bukan makanan, Kak."
"Es krim itu makanan beku, Jun."
"Bubur ayam."
"Jam segini nggak ada bubur ayam, Jun."
"Aku udah pernah makan semuanya, bosen."Aku melirik Mbak Kinan di samping. Kami memang yang berjalan paling belakang, bersisian sambil mengawasi langkah anak-anak. Kakakku itu hanya tersenyum dan menggeleng kecil. Mungkin sudah biasa mendengar celotehan mereka para bocil.
Akhirnya, kami makan ayam goreng berbalut tepung krispi di restoran cepat saji. Restoran pertama yang kami lewati setelah pertikaian anak-anak. Aku heran, mereka bisa dengan kompak masuk padahal belum ada diantara aku atau pun Mbak Kinan yang memutuskan akan makan apa siang ini.
Mbak Kinan sibuk dengan Juni, lagi. Anak itu kesulitan makan ayam yang renyah. Tak mau memegang sendiri dan menggigit paha ayam itu langsung. Katanya, tangannya nanti bisa kotor oleh minyak. Hingga Mbak Kinan harus menyuir-nyuir ayam menjadi bagian yang pas untuk sekali masuk ke dalam mulutnya yang susah dimengerti. Ara makan dengan tenang. Bolaku memang sudah pintar. Sementara anak-anak lelaki malah seperti berlomba memakan satu jenis lauk siang ini. Satu big bucket telah mereka habiskan bertiga.
"Ana bisa nggak?" tanyaku tanpa bisa kutahan-tahan. Anak itu mau memegang ayam dengan tangannya langsung, tapi gigitannya hanya kecil-kecil. Nasi di piring tinggal separuh porsi dan ayamnya masih bisa dikatakan utuh. Keseksian paha ayam berbalut tepung baru cedera sedikit.
Ana hanya mengangguk, berarti dia bisa makan sendiri.
"Ana kurang suka kalau ayam goreng." bisik Mbak Kinan di telinga kananku.
"Kenapa nggak bilang dari tadi, Mbak? 'Kan bisa dipesenin makanan lain." balasku yang juga berbisik. Sebenarnya apa yang sedang kami lakukan ini, berbisik-bisik di depan seorang anak kecil yang menjadi topik pembicaraan. Dasar kurang kerjaan.
"Dia juga nggak akan mau kalau ditawarin makanan lain. Dia maunya makan kayak temen-temennya."
Hnnggg, pusing lama-lama aku di sini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sekelumit Rindu
ChickLitTentang Aisha Dianitha Pramono yang menyimpan sekelumit rindu kepada Dean Giriandra. Dian bukan ingin menjilat ludahnya sendiri, tapi dia juga tak bisa menahan gejolak rasa dari dalam dada. "Aku pernah baca novel. Katanya jodoh itu nggak jauh-jauh d...