Bab 16

7K 944 60
                                        

Mbak Kinan sudah melahirkan lima hari yang lalu, kabarnya anaknya laki-laki lagi dan sudah dibawa pulang kemarin sore. Aku baru bisa menjenguk karena aku baru pulang dari Semarang. Aku baru saja menghadiri seminar pediatric di sana.

Saat aku sampai di rumah Mas Arya, sudah ada dua mobil lain yang terparkir di halaman. Aku tahu itu pasti mobil Kak Raka dan Kak Dean. Aku memarkirkan mobilku di luar gerbang karena di dalam sudah tidak muat. Mobil milik Mas Arya belum dimasukkan ke dalam garasi.

Aku naik ke teras sambil menenteng kado untuk keponakanku yang baru. Lima pasang baju panjang sengaja kupilihkan untuknya. Sejujurnya, sama seperti saat aku bingung memilihkan kado untuk Kafka, aku juga bingung memilih hadiah untuk bayi. Mbak Kinan pasti sudah menyiapkan kebutuhannya sedari lama.

Pintu depan terbuka sedikit, aku masuk begitu saja tanpa mengucap salam. Nanti saja jika sudah bertemu dengan penghuninya. Tiba di ruang tamu, aku mendengar tiga orang pria yang tengah bercakap-cakap. Mendadak aku terdiam, aku berhenti melangkah dan malah menempelkan badanku ke tembok.

"Nggak pa-pa kali. Udah mau lima tahun ini. Ana pasti juga butuh ibu baru."

"Bener, burungnya juga butuh kandang baru."

Gelak tawa memenuhi telingaku. Suaranya hanya bersumber dari dua orang. Dasar bapak-bapak tidak tahu aturan. Bicara hal tak senonoh di dalam rumah yang pasti banyak anak-anak.

"Mau cari yang janda apa yang perawan?"

"Yang janda aja kali, ya. Yang udah pengalaman."

Terdengar jawaban dari Kak Dean setelah ditanyai oleh Kak Raka. Tawa kecil kembali terdengar meski tak seriuh tadi. Hatiku mendadak nyeri. Kak Dean mau mencari janda untuk jadi ibunya Ana?

"Assalamu alaikum."

Aku beranjak masuk ke ruang tengah. Sengaja kukeraskan suaraku agar mereka mendengar. Ketiga pria tersebut menoleh padaku. Entah mengapa, rasanya jadi seperti waktu itu. Bedanya, hanya tidak ada Kak Elyas sekarang.

"Wa alaikumussalam."

Mereka menjawab satu per satu, tak bersamaan. Kak Dean yang yang paling akhir dan paling lirih, lalu ia kembali fokus pada layar gawainya. Mungkin sedang berbalas pesan dengan seorang janda incarannya. Janda yang akan ia nikahi dan resmi jadi ibunya Ana. Huh, mengapa aku malah jadi sebal membayangkannnya.

Aku lalu menaiki tangga setelah berbasa-basi sebentar dengan Kak Raka dan Mas Arya. Kutengok kanan kiri, ternyata anak-anak sedang tidak ada di lantai bawah. Padahal aku sudah ada niat ingin mengadukan Mas Arya kepada Mbak Kinan atas obrolan tak senonohnya tadi.

"Assalamu alaikum." Kembali mengucap salam kala aku sampai di kamar bayi baru. Kamar khusus anak, milik Kafka dulu. Sekarang Kafka sudah pindah ke kamar yang lebih besar.

"Wa alaikumussalam." jawab orang-orang yang ada di dalam, serempak. Ada Mama yang memangku Janu, Mbak Kinan, Mbak Tiara dan Ara Bola yang duduk memangku adiknya. Kucium punggung tangan para orang tua itu sebelum aku mendekat kepada si bayi. Khusus pada mama, aku memeluknya sebentar. Tadi malam saat aku sampai di rumah, mama memang tidak ada. Mama telah menginap di sini berhari-hari demi menunggui Mbak Kinan. "Wah, gantengnya ponakan Tante Dian." Kudorong-dorong pipinya yang gembul dengan ujung telunjukku.

"Adiknya Ara gitu lho, Tan." Ara menyombongkan diri, ia meminta tanganku, bersalaman.

"Iya deh, iya... Yang ini juga cantik." Kucubit pipi Ara hingga bibirnya melebar ke satu sisi, lucu sekali. Pipinya sekarang sudah tidak terlalu gembul, tapi masih cukup empuk. "Ara jadi nggak dapet temen main boneka dong." ejekku padanya.

Sekelumit RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang