"Nggak mau disuntik."
Suara lirih Ana kembali terdengar di telingaku setelah aku ikut duduk di sampingnya. Mataku rasanya memanas, mengapa hatiku seolah tercubit ketika mendengar suaranya yang pelan. Kedua mata bulatnya yang sayu sudah berkaca. Aku tak tega, ingin sekali rasanya aku memeluk dan mengusap punggungnya seperti kemarin sore. "Enggak, Tante nggak akan nyuntik Ana lagi kok. Kita main dokter-dokteran sebentar, yuk." ucapku sambil menunjukkan stetoskop padanya.
Tangan kirinya yang terbebas dari selang infus terulur pelan, menyentuh tubing panjang berwarna hitam. "Punya Ana warnanya pink, tapi kecil."
Aku tersenyum, akhirnya suaranya yang lain terdengar kembali. Kali ini tak terlalu lirih. Dia nampak antusias melihat alat bantu pemeriksaanku ini. "Iya, 'kan Ana masih kecil. Jadi punya Ana juga kecil."
Aku menempelkan diaphragm ke dada dan perutnya untuk mendengarkan detak jantung, pernapasan dan bising usus. Cepat saja aku melakukannya. Aku tidak sanggup lama-lama berada di sini. "Nih, sekarang gantian Ana." Kupasangkan earpieces di kedua telinga bocah itu, lalu kutempelkan bulatan diafragma ke permukaan dadaku sendiri. Janjiku tadi adalah bermain dengannya, sebentar. "Ada suaranya 'kan?"
Ana mengangguk, binar matanya mendadak cerah. "He-em, suaranya keras banget."
Aduh. Mataku memejam. Kuulurkan bulatan itu padanya. Aku berdiri lalu menyambar papan pemeriksaan yang dibawa oleh seorang perawat yang sejak tadi mengikutiku.
"Dug dug dug dug."
Bibir mungil Ana malah kembali bersuara. Membuat aku jadi tidak bisa konsentrasi.
"Punya Papa suaranya juga keras banget."
Aku menoleh, terlihat Ana yang sedang menempelkan diafragma stetoskop di dada Kak Dean. Dan pria itu pun lantas menyingkirkannya, tapi Ana sepertinya tidak mau kalah. Anak itu kembali memeriksa ayahnya. Bibir mungilnya kembali menggumamkan bunyi yang di dengarnya.
Astaga, ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama.
Tante Lis berinisiatif menyuapi Ana lagi. Mungkin mumpung fokus anak itu sedang tertuju kepada stetoskopku. Aku memilih agak menjauh, memeriksa aliran infusnya.
"Pait."
Aku menoleh setelah beberapa saat hanya duduk di sofa lain. Perawat yang bersamaku tadi sudah kusuruh keluar. Ana memang pasien terakhir yang masuk ke dalam daftar visite pagi.
"Masak baru dua suap udah pait. Gimana bisa cepet sembuh, katanya nggak bisa bobo di sini."
"Papa yang suapin, ya."
Kulihat Kak Dean mengambil sendok yang ujungnya telah terisi bubur. Lalu menyodorkannya kepada Ana, tapi anak itu malah menoleh ke arahku, menolak suapan. Aku yang ditatap mata sayunya malah jadi salah tingkah.
"Ya udah kalau begitu balikin stetoskopnya sama Tante dokter."
Suara Kak Dean mendadak tak selembut tadi. Sendok dibanting asal ke dalam kotak sterofoam buburnya. Kak Dean lalu melepaskan earpieces yang masih menempel di kedua telinga Ana, lantas memberikannya padaku dengan tangan kirinya, tanpa menatapku. Bibir Ana melengkung ke bawah. Matanya mulai berair.
"Kak, nggak pa-pa kok. Aku bisa nunggu sampai Ana selesai makan." tuturku yang langsung tidak tega melihat Ana yang menangis. Menurutku, Kak Dean terlalu kasar pada anaknya tersebut.
![](https://img.wattpad.com/cover/267706298-288-k827178.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekelumit Rindu
Genç Kız EdebiyatıTentang Aisha Dianitha Pramono yang menyimpan sekelumit rindu kepada Dean Giriandra. Dian bukan ingin menjilat ludahnya sendiri, tapi dia juga tak bisa menahan gejolak rasa dari dalam dada. "Aku pernah baca novel. Katanya jodoh itu nggak jauh-jauh d...