Teringat dengan fotoku bersama Janu beberapa hari lalu, aku bahkan belum jadi mengunggahnya di sosial media berbagi foto. Iseng, daripada sosial mediaku menjadi macam kuburan yang tak pernah upload keseharian, mungkin satu jepretan dengan Janu bisa menunjukkan jika akunku masih berpenghuni.
Kugeser-geser layar di gawai mencari foto yang terbaik. Membandingkan satu gambar dengan gambar yang lainnya. Memperbesar layar tepat di bagian wajahku, mencari titik kecil kemungkinan dari hal yang bisa merusak pemandangan. Tidak ada, wajahku mulus seperti biasa ditambah filter jahat yang tersemat dalam ponsel. Kecuali satu bekas jerawat di jidat bagian kanan. Kuraih cermin kecil yang berada tak jauh dari tempatku berbaring. Mengamati dahiku dari pantulannya. Bekas itu sudah agak memudar, tapi belum sepenuhnya hilang. Aku yang saat itu gemas sendiri akhirnya memencet jerawat yang sudah agak memucat. Jika mengingat hari itu aku jadi jijik sendiri. Itu adalah kali pertama aku memencet jerawatku langsung dengan tanganku dan mengakibatkan bekasnya menjadi keabadian yang hakiki. Rangkaian skincare yang biasa kupakai tidak mempan untuk menghapusnya.
Kembali aku menggeser layar gawai. Melanjutkan pencarianku yang tertunda. Satu dua foto kulewati ketika Janu tertangkap sedang memakan ujung pashminaku. Aku bukan orang yang egois dan mementingkan diri sendiri. Jika aku harus tampil sempurna di foto, Janu juga harus sempurna. Liurnya yang menetes tidak boleh terekspos. Jejak digital sangat kejam. Aku tak mau jika suatu hari dia menjadi seorang pengusaha muda, fotonya waktu bayi yang memalukan terpampang di halaman depan majalah bisnis. Ah, pikiranku akhir-akhir ini memang kacau. Kak Indra selalu memberi kode padaku. Sungguh, aku belum siap.
Aku berhenti menggeser layar saat tak sengaja melihat seorang gadis cilik yang tertangkap di kameraku. Ana, dia sedang menatap ke arahku dari tempatnya berdiri di dekat ayunan. Kuperbesar layarnya lagi demi melihat raut wajah Ana lebih jelas. Tatapannya sendu, kontras dengan senyumku dan juga Janu.
Astaga... kutepuk jidatku sendiri setelah mengingat janjiku padanya waktu di rumah sakit. Aku janji akan mengajaknya jalan-jalan. Aku lupa dan ini sudah hampir satu bulan semenjak ia keluar dari rumah sakit. Dan aku, aku bahkan tak menyapanya ketika terakhir kami bertemu di rumah Mas Arya.
Ting.
Gawaiku berdenting satu kali. Kutarik turun layar notifikasi. Ada tiga pesan baru dari Lintang Ayu Puspagiri. Kuketuk kolom pesan tersebut hingga masuk ke aplikasi.
Lintang AP
[Diaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan.
Oleh-oleh buat aku masih ada kan yaaaaaaa?
Aku lusa ke Jakarta. Kita ketemu yaaaaa]
Aku berdecak, dia memang tidak ada basa-basinya. Persis seperti... argghhh. Kenapa harus dia lagi dan dia lagi yang muncul di pikiranku.
[Masih. Lusa aku masuk, Lin.]
Kukirim balasan untuknya. Lusa aku tidak bisa, jadwalku masih masuk. Ada janji pula dengan Hanifa.
Tak sampai satu menit balasan darinya telah tiba. Benar-benar cepat untuk ukuran orang sibuk macam Lintang.
Lintang AP
[Nggak lusa juga kita ketemunya, Di.
Hari sabtu abis dhuhur ya.
Bisa?]
Aku mengingat-ingat jadwalku lagi. Hari Sabtu aku sepertinya... libur.
[Bisa. Abis makan siang aja.
Atau kamu main ke rumah sekalian, Lin.]
Balasku menawarkan opsi lain. Temu kangen di rumah menurutku bukan ide yang buruk. Kami nanti bisa menghabiskan waktu lebih lama tanpa harus capek-capek keluar. Dari pagi sampai malam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sekelumit Rindu
ChickLitTentang Aisha Dianitha Pramono yang menyimpan sekelumit rindu kepada Dean Giriandra. Dian bukan ingin menjilat ludahnya sendiri, tapi dia juga tak bisa menahan gejolak rasa dari dalam dada. "Aku pernah baca novel. Katanya jodoh itu nggak jauh-jauh d...