Bab 4

8.7K 1K 9
                                    

"Yeay, kita udah sampai."

Anak-anak di belakang bersorak kegirangan ketika mobil berbelok memasuki gerbang pelataran pusat perbelanjaan. Aku ikut bersorak menambah keceriaan. Mobil mewah ini seketika menjadi bising. Mbak Kinan bahkan sampai menutup pasang telinganya.

"Pilih yang kalian suka." titahku pada anak-anak saat kami sudah sampai di sebuah toko mainan.

"Satu orang ambil satu." imbuh Mbak Kinan memberi peraturan.

"Dua atau tiga nggak pa-pa kok." sambungku cepat. Mbak Kinan memang begitu. Sejak dulu membeli mainan termasuk dalam hal tidak berguna dalam kamusnya. Padahal dengan mainan anak-anak bisa mengeksplor kreatifitasnya. Dengan mainan, anak-anak bisa menumbuhkan imajinasinya.

Mereka pun lantas menghambur ke berbagai sisi. Anak lelaki ke sisi kanan, anak perempuan ke sisi kiri. Sepertinya mereka sudah sering belanja di sini.

Sambil menunggu, aku duduk di sebuah bangku yang memang disediakan. Membuka ponsel mengecek aplikasi berbagi pesan. Ingin mengecek apakah sudah ada pesan balasan dari Lintang. Aku memang mengabarinya jika aku sudah pulang. Bukan apa-apa, dia adalah teman baikku. Aku ada sedikit oleh-oleh untuknya.

Lintang AP
[Aku belum bisa pulang ke Jakarta.
Kangen... pengen ketemu kamu, Di.]

Satu hal yang aku tidak suka dari Lintang adalah panggilannya untukku. Alih-alih memanggilku dengan nama yang penuh, dia malah seperti kakaknya. Di, hanya mereka berdua yang memanggilku dengan dua huruf saja. Bukan Aisha seperti panggilan dari Almarhum Papa ataupun Dian, yang sering orang lain sebutkan.

Baper, mungkin kata itu lah yang dulu pernah aku rasakan. Aku sendiri yang menolaknya. Aku sendiri juga yang merasakan sakitnya. Aku terlalu terbiasa dengan celotehan Kak Dean yang menjahiliku, sangat biasa dengan gerakan tiba-tiba yang menoel hidung dan pipiku. Aku marah, bukan mahrom, tapi dia malah tertawa terbahak-bahak seolah hal yang ia lakukan itu tidak berdampak menjadi dosa.

Perlahan namun pasti. Kebiasannya menjahiliku mulai menghilang. Dan aku malah merasa kehilangan. Seperti diabaikan, dia tidak pernah lagi menebar senyum ketika kami tak sengaja berpapasan. Menjaga hati Mbak Alya, mungkin itu yang sedang ia terapkan.

Tak sampai di situ saja. Dulu, hampir tiap hari aku seperti dicekoki oleh Lintang yang selalu menceritakan tentang keluarganya. Lebih sering tentang pria bernama Dean. Kakak pertamanya yang menjadi tulang punggung keluarga. Kakak lelaki yang selalu melindungi dua adik perempuannya. Aku tak tahu apa maksud gadis itu. Luwes sekali dia mengumbar segala tentang kakak-kakaknya. Aku... sedikit merasa menyesal telah menolaknya. Aku telah menolak pria yang sangat menyayangi keluarga.

[Kabarin kalau udah balik. Aku ada oleh-oleh buat kamu.]

Balasku pada Lintang. Katanya, Gadis itu menetap sementara di rumah kakeknya. Dia bekerja di salah satu rumah sakit umum daerah. Katanya, dia ingin sebentar saja menghilang dari kepenatan ibu kota dan membantu orang-orang di desa yang membutuhkan. Aku tak tahu di mana tepatnya dia sekarang, yang pasti masih di pulau Jawa.

Ngomong-ngomong tentang sekolah di luar negeri. Pergulatan batinku kala itu tak main-main. Papa pergi sebulan sebelum aku diwisuda. Aku putus asa. Arah yang ingin kutuju mendadak gelap gulita. Aku mendadak tak berselera melanjutkan apa yang sudah lama kucita-citakan. Universitas pilihan papa di negeri ratu elizabeth, menjadi tak menarik lagi di mataku.

"Tanggung dong, Dek, kalau kamu nggak lanjut. Tinggal dikit lagi kamu akan berhasil."

Aku sangat ingat dengan ucapan Mbak Ari ketika aku mengungkapkan jika tak ingin jadi dokter lagi. Sarjana kedokteran tidak akan jadi dokter sungguhan apabila tak menempuh pendidikan profesi. Akhirnya, aku tetap melanjutkannya. Dua tahun menjalani koas lalu internsip di Pekanbaru, aku sering meninggalkan mama sendirian di rumah.

Aku kembali merasa lelah, sudah malas berpikir juga kalau harus mengambil spesialis. Tapi kini malah gantian mama yang berhasil membujukku. Mama mengingatkan aku tentang keinginan papa dulu. Papa adalah orang nomer satu yang selalu mendukung setiap langkahku. Papa mempunyai keinginan agar aku bisa kuliah di Cambridge, salah satu univeritas terbaik di dunia.

Inggris, sangat jauh dari Indonesia. Aku tidak mungkin meninggalkan mama sendirian lagi. Namun, ibuku itu lagi-lagi yang malah mendorongku untuk berangkat di saat Mbak Ari saja sudah berpasrah dengan keputusanku. Jika aku memilih melanjutkan spesialis di Jakarta, Mbak Ari akan ikut menanggung biayanya. Pun begitu dengan Mas Arya, kakak lelakiku itu tidak mempermasalahkan berapapun nominalnya. Kalau pun aku tidak jadi mengambil jurusan spesialis, mereka juga tidak akan memaksa.

"Kesempatan nggak datang dua kali. Nggak banyak orang seberuntung kamu. Kamu pinter. Kakak-kakakmu semua mendukung, mama juga. Dian 'kan cita-citanya jadi dokter anak. Berangkat ya, Dek. Mama nggak pa-pa di rumah sendirian. Lagian cucu-cucu mama juga banyak. Mama nggak akan kesepian."

Aku tidak akan pernah lupa ucapan mama waktu itu. Benar, kesempatan memang tidak akan pernah datang dua kali. Dan aku pasti akan menyesal jika dulu tak berangkat ke sana. Karena kini, aku mencintai bidang kesehatan ini.

Sekelumit RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang